Merawat Moral Republik
Tokoh bangsa Ahmad
Syafii Maarif, akrab disapa berbagai kalangan dengan panggilan Buya Syafii
Maarif, telah berusia 80 tahun. Sungguh usia yang sangat matang dengan berbagai
pengalaman. Buya Syafii Maarif lahir di Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatra Barat,
31 Mei 1935.
Baru-baru ini dalam
rangka memperingati 80 tahun Buya Syafii Maarif, Maarif Institute sebagai
lembaga penggerak gagasan dan pemikiran Buya, di beberapa kota di Indonesia
mengadakan talkshow kebangsaan dengan tema Islam dalam bingkai keindonesiaan
dan kemanusiaan. Ya, Buya Syafii Maarif terbukti gigih menjaga keragaman bangsa
dan merawat moral republik.
Dalam pandangan saya, Buya Syafii Maarif itu bak `puisi'. Puisi yang `membersihkan' masyarakat supaya tak lagi menjadi mangsa retorika politik yang meninabobokan. Puisi yang menasihati supaya manusia Indonesia jangan sampai tunamoral dan tunaadab.
Puisi yang mengingatkan
kita agar berani memulai untuk bersikap jujur pada diri sendiri, mengakui
borok-borok yang menempel pada diri sendiri, dan jangan pernah menjual
kebohongan di mana-mana. Puisi yang menggetarkan hati untuk mempercepat proses
pencerdasan otak dan pencerahan hati bagi Tanah Air yang tercinta ini. Puisi
yang mengingatkan supaya Pancasila jangan sampai `diyatim-piatukan'.
Ketika politik
singit, puisi yang meluruskannya. Tatkala pelaku politik tak berperasaan dan
tak punya hati, puisi yang bertanggung jawab mengisi para pelaku politik dengan
kemuliaan jiwa dan hati.
Berbagai pemikiran
Buya Syafii Maarif dalam tulisannya memiliki kedalaman isi dan hati. Seperti
kedalaman puisi yang mencairkan bekunya hati dan menghidupi kepekaan saraf yang
telah mati, yakni saraf negeri ini. Buya Syafii Maarif pasti menyukai bait puisi
almarhum Rendra berikut ini.
`Dengan puisi ini aku
bersaksi bahwa rakyat Indonesia belum merdeka. Rakyat yang tanpa hak hukum
bukanlah rakyat merdeka. Hak hukum yang tidak dilindungi oleh lembaga
pengadilan yang benar-benar bersih, adil, mandiri, dan terkawal adalah hukum
yang ditulis di atas air!'
Tak lupa yang kecil
Puisi tak pernah
melewati detail pernak-pernik besar atau kecil pengalaman kehidupan. Buya pernah
berkata, pernak-pernik kecil dalam sejarah kita sebagai bangsa kerap dilupakan.
Seolah-olah hal itu tidaklah penting dibicarakan dan diingat meski sesungguhnya
gerak pikir dan kesadaran kita dalam berbangsa sering ditentukan peristiwa-peristiwa
kecil yang terlewatkan.
Buya membuktikan hal
itu. Ia melontarkan gagasan dan menulis kisah orang-orang kecil dan rakyat
biasa yang bertegur sapa dan bercengkerama bersamanya. Misalnya, dalam tulisan
Di Bengkel Itu Ada Ayat Allah (Kompas, 12/1/2013) dan Sopir Taksi Marsudi
Bertutur (Republika, 27/3/2013).
Banyak
tulisan dan komentar Buya yang memiliki keluasan jiwa terhadap hal-hal kecil
yang sering kita remehkan.“Jangan Remehkan Titik Koma“ kalimat Buya
yang menjadi judul kolom Agung Achmad di majalah Tempo (7 Juni 2010). Dalam
pengamatan Agung, diksi yang diucapkan atau dituliskan Buya sering mengagetkan
orang. Misalnya kalimat Buya yang mengatakan membangun peradaban itu dimulai
dari titik dan koma.
Berkhidmat kebinekaan
Maarif Institute for
Culture and Humanity ialah sebuah lembaga bagi gerakan gagasan Buya yang
digerakkan intelektual-intelektual muda, salah satu programnya ialah Maarif
Award. Sebuah program yang mengapresiasi dan mengakui perjuangan
anak-anak bangsa yang berdedikasi tinggi membangun peradaban yang dimulai dari
titik dan koma itu. Program itu juga untuk mengapresiasi anak-anak bangsa yang
berjuang merawat keindonesiaan dan memperjuangkan kemanusiaan melalui
kerja-kerja inisiatif kepemimpinan di tingkat lokal berbasis nilai-nilai
keagamaan yang universal.
Romo Franz Magnis-Suseno pernah berkata, “Buya adalah sahabat saya. Saya selalu terkesan oleh keterbukaannya, oleh kombinasi yang bagus antara keislaman dan keagamaannya yang yakin dengan sikap pluralisme. Saya kira itu merupakan modal penting bagi bangsa Indonesia untuk melihat bahwa perbedaan beragama bisa mempersatukan dan tidak sama sekali berubah menjadi alasan kita. Saya menganggap beliau adalah orang yang sangat brilian“.
Ya, begitulah Buya.
Ia menjaga dan merawat moral republik ini supaya tidak oleng dan terdampar di
pantai nan karam. Buya merupakan `puisi' dalam keberbagaian yang meneguhkan
kedamaian dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan.
David Krisna Alka
Pemerhati Kebudayaan Politik, Research Associate The Indonesian Institute
Media Indonesia, 20 Juni 2015
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/index.aspx?EID=2253&dt=20150620
Comments