Muhammadiyah, Politik, dan Kaum Duafa
Kompas, 22 Februari 2008
David Krisna Alka
Muktamar Pemikiran Islam di Muhammadiyah ”Kritik
Oto-Kritik Muhammadiyah” pertengahan Februari 2008 menuai kritik konstruktif
bagi perjalanan gerakan Muhammadiyah di Indonesia.
Gerakan Muhammadiyah seharusnya lebih peduli terhadap
persoalan realitas sosial kini dan nanti, bukan cuma persoalan politik.
Menjelang Pemilu 2009, politisi di negeri ini mulai bersahut dan tampak
kasak-kusuk ingin merebut posisi empuk. Sementara itu, krisis moral dan
kepemimpinan bangsa ini sudah memasuki tahap kritis. Dalam konteks ini, umat
Muhammadiyah tak bisa mengabaikan pendidikan karakter bangsa yang kian pudar.
Namun, di tengah hiruk-pikuk politik menjelang Pemilu
2009 adalah suatu hal yang sulit bagi kaum cerdik pandai Muhammadiyah untuk
tidak larut dalam intrik politik praktis. Ulama, sebagai penjaga moral bangsa,
harus menjadi panutan umatnya. Akan tetapi, kecemasan yang timbul adalah posisi
tak etis peran ulama dan intelektual Muhammadiyah dalam perpolitikan nasional,
yaitu menghendaki jabatan politik.
Bertrand Russel (1984) pernah menjelaskan, di kalangan
politisi orang baik punya kegunaan. Orang baik tak pernah dicurigai bahwa ia
akan menggunakan kebaikannya untuk melindungi bajingan. Sifat ini membuat orang
baik-baik amat disenangi dan akhirnya orang baik-baik itu ikut pula menjadi
politisi.
Namun, suatu sistem ekonomi politik di mana the rulling
elite mengalami konservatisasi karena ingin mempertahankan monopolinya pada
akses-akses ekonomi dan kekuasaan selalu muncul polarisasi yang merusak solidaritas
sosial. Kecenderungan untuk tidak melibatkan agama dalam aneka masalah
sosial-politik akan mempercepat timbulnya masyarakat berkelas. Karena itu,
sepatutnya dipikirkan adanya sistem politik lain yang mampu mewakili rakyat
jelata demi mengimbangi kecenderungan konservatisme dan egosentrisme kelas
elite melalui sarana demokrasi.
Panutan
Menurut Kuntowijoyo (1993:42), Muhammadiyah sebagai
kelompok yang selalu mendefinisikan dirinya sebagai entitas non-kelas mempunyai
peluang untuk kembali mendefinisikan ideologi sosial dan politiknya berdasar
kepentingan rakyat jelata—sebagaimana dicontohkan Sarikat Islam (SI) di masa
lalu—dan dirumuskan secara jernih berdasar analisis yang tepat tentang formasi
sosial dan sistem ekonomi politik yang ada.
Ini berarti politik agama harus dibumikan pada tingkat
obyektif menjadi politik kelas dalam rangka mengakomodasi kepentingan empiris
umat dan bangsa. Hanya dengan gerakan agama yang memihak, gerakan sosial
Muhammadiyah akan memiliki makna sejati sebagai gerakan untuk pembebasan
struktural, seperti dirumuskan Kuntowijoyo terkait tiga misi agama: humanisasi,
emansipasi, dan transendensi.
Sebagai panutan moral, kalangan cerdik pandai
Muhammadiyah saat terlibat dalam kancah perpolitikan nasional dicemaskan akan
lupa kepada rakyat yang masih banyak didera kemiskinan. Ketika hasrat ingin
berkuasa dan ingin cepat kaya kian menggoda, politisi cenderung lupa, tetangga
yang miskin di kampungnya bingung besok mau makan apa.
Sejatinya, gerakan Muhammadiyah adalah wadah perjuangan
umat Islam dalam melaksanakan gerakan dakwah sosial yang memiliki cukup banyak
lembaga pendidikan, panti asuhan, rumah sakit, dan lembaga zakat (lazis).
Sayang, institusi sosial Muhammadiyah lebih tampak sekadar tempat untuk meraup
keuntungan. Di mana letak kaum duafa di mata Muhammadiyah?
Muktamar pemikiran Islam itu diharapkan mengembalikan
spirit awal Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan yang berpihak terhadap
realitas sosial yang timpang, kemiskinan, dan ketertindasan. Seperti agama,
gerakan dakwah Muhammadiyah harus berpihak kepada kaum papa.
Kaum intelektual muda Muhammadiyah diharapkan tak
terjebak dalam rasa sudah tahu segala sesuatu, atau kebencian paranoid.
Artinya, elite Muhammadiyah dan anggotanya telah mencapai titik di mana mereka
tahu perbedaan antara baik-buruk, mampu menjatuhkan pilihan sendiri, memiliki
kemampuan sendiri, keyakinan sendiri, yang bukan sekadar pendapat. Sudah
saatnya intelektual muda Muhammadiyah bergerak turun ke bawah. Jangan hanya
wacana yang melulu mendunia sehingga mengabaikan kaum duafa.
Comments