Ruang Didik Politik Bajik
Kompas,
Selasa, 10 Desember 2013
Oleh:
David Krisna Alka
Bangsa yang melupakan
kebudayaannya adalah bangsa
yang bersiap menggali kuburannya
sendiri.
— Buya Syafii Maarif
Begitulah
keadaan kita hari-hari ini. Perilaku politisi kita sekarang sudah kering
kerontang nilai-nilai kebudayaan. Karena itu, sungguh penting membangun tonggak
kebudayaan dalam kehidupan politik di Tanah Air dan mengintegrasikannya ke
dalam politik. Basis-basis kultural dalam ruang politik patut diisi agar
memiliki jiwa dan hati. Politik tanpa inti kebudayaan akan gagal membentuk
masyarakat yang beradab dan berkeadilan.
Semakin
dekat Pemilu 2014, kehidupan politik di negeri ini semakin bertambah sengkarut.
Apa masalahnya? Sudah sedemikian parahkah kultur politik kita?
Menurut
Wiratmo Soekito (1982:36), politik mengandung pengertian yang ambivalensi.
Di satu
pihak politik itu dihayati oleh semua manusia, di lain pihak selain dihayati
oleh manusia politik juga kerap membinasakan nilai-nilai. Jadi,
tinggal kita memilih, apakah kita menerima politik dalam arti yang sehat
ataukah kita akan menerima politik dalam arti yang ”kontradiktoar”?
Politik yang sehat berarti politik yang menjadi jembatan untuk menciptakan peradaban mulia, bukan malah membinasakan norma dan nilai-nilai kebudayaan sehingga kuman ketakberadaban masuk ke dalam semua institusi politik dan publik.
Memang,
politik dan budaya adalah istilah yang berbeda. Namun, pelaku politik dan
pelaku budaya adalah sama, manusia. Artinya, keduanya merupakan kekuatan yang
bisa disatukan agar bekerja untuk kemanusiaan. Meninggikan harkat dan martabat
bangsa Indonesia di mata dunia.
Politik
tanpa nilai kebudayaan sama halnya keberpihakan tanpa perjuangan untuk
kepentingan rakyat (kemanusiaan). Politik bukan semata sekadar meraih
kekuasaan, mengekspresikan kegagahan, kelincahan, kecerdasan, kegenitan,
kecurangan, dan kemewahan, seperti tampak sekarang.
Karakter politik
Karakter
politik kita cenderung terlihat sibuk berburu rente dan dagang kekuasaan.
Perdebatannya melulu soal besaran atau persentase.
Ekspresi
politik pun justru terjebak oleh struktur primordial dan feodal. Contoh paling
nyata adalah masih mendebatkan soal asal kepulauan mana pasangan presiden berasal.
Inilah ekspresi politik yang kuno dan minim karakter persatuan dan kemanusiaan.
Contoh
lain adalah afiliasi dan loyalitas politik yang sengaja memupuk ketegangan
antargolongan adalah praktik-praktik politik yang picik.
Di
samping itu, politik yang membangun karakter tak lepas dari pendidikan politik.
Kita merindukan partai politik yang memiliki semangat untuk mencerdaskan
pemilih.
Partai
politik dan aktor politik seharusnya memberikan pendidikan politik yang masif
kepada masyarakat. Bukan
sekadar pasang dan tempel iklan serta sekadar sosialisasi program di mana-mana.
Itulah yang dinanti para pemilih sehingga mereka tak lari dan ogah memilih.
Politik
berkarakter yang di dalamnya terdapat nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab mestilah menjadi pedoman serta kaidah dalam perilaku kehidupan politik.
Jadi,
kebudayaan mestinya menjadi ”ibu” dalam politik (culture is mother politic)
yang mempunyai kemampuan untuk memajukan masyarakat dan menciptakan peradaban
tinggi di negeri ini.
Ruang didik
Apa
yang dikatakan Buya Syafii Maarif di atas memang benarlah demikian, kehidupan
politik kita sekarang tuna-kebudayaan. Tak pernah terdengar atau sangat jarang
wacana dan kegiatan kultural yang dilakukan partai politik dan para politisi.
Politik
tanpa akar kebudayaan dikhawatirkan akan memusnahkan nilai-nilai kebajikan,
minus kemanusiaan, menunggu waktunya kepunahan.
Tatkala
kehidupan politik mengalami sengkarut, kekuatan apa yang akan menopangnya
sehingga geliat politik Tanah Air punya harapan sebagai kehendak bersama untuk
perubahan? Tentu, kita tak mesti menunggu azab Tuhan untuk bisa berubah.
Oleh
karena itu, di kalangan pendidik dan anak didik perlu diciptakan ruang didik
politik yang bajik. Sebab, di kalangan terdidik, politik pun tak lepas dari
perasaan syak wasangka, curiga, serta ketakutan irasional dalam
tindakan-tindakan politis dan nonpolitis.
Soedjatmoko
(2010:21) pernah mengatakan, selama ini perasaan syak wasangka, curiga, dan
ketakutan irasional itu selalu mendasari perpecahan politik yang tengah
berlangsung lama di Indonesia.
Jadi,
apabila sebagai kaum terdidik yang mempunyai keyakinan politik masih diselimuti perasaan-perasaan ketakutan irasional, betapapun sempurna pengetahuan dan
hebat keahlian, kuranglah berguna semua itu.
Kalangan
terdidik tak boleh takut berpolitik. Begitu pula para pendidik, jangan melulu
mengajarkan rasa ”jijik” terhadap politik kepada anak didik.
Mengajarkan
dan melaksanakan kebajikan politik adalah kekuatan kita untuk menciptakan
negara ini menjadi lebih baik sehingga keberadaban masuk ke dalam semua
institusi politik dan institusi publik.
Walhasil,
kultur politik akan menciptakan kebaikan publik dan institusi politik menjadi
rumah kebaikan publik.
David Krisna Alka
Peneliti Maarif
Institute for Culture and Humanity dan Anggota Bidang Pimpinan Pusat Pemuda
Muhammadiyah
Periode 2010-2014
http://epaper.kompas.com/kompas/books/131210siang/#/5/
Comments