Negeri yang Gelisah
Media Indonesia, 3 Desember 2013
Oleh: David
Krisna Alka
Bukan bersama kita bisa untuk selalu berkeluh kesah dalam republik,
tapi berusaha untuk bangkit.
Bukan bersama kita bisa untuk selalu berkeluh kesah dalam republik,
tapi berusaha untuk bangkit.
BAYANGKANLAH
jika seorang guru atau dosen setiap meng ajar dalam kelas selalu berkeluh kesah
kepada murid atau mahasiswanya. Bagaimana rasanya? Mereka merasa kesal bukan?
Lebih lagi jika seorang pemimpin sebuah negara selalu berkeluh kesah terhadap
rakyatnya. Apa yang rakyat rasakan?
Inilah
negeri keluh kesah. Keluh tentang kapan tiba saatnya negara ini menuju
kebangkitan dan perubahan. Kesah tentang kinerja kepemimpinan politik yang
lemah, seolah semua berjalan sendiri-sendiri. Hukum berjalan sendiri, kekerasan
terus terjadi, dan korupsi semakin menjadi-jadi.
Selama
ini, kepemimpinan di Republik ini belum mampu menggerakkan perubahan untuk
kebangkitan. Kapitalisme yang menyayat urat nadi harga diri bangsa membuat
Republik ini tak mandiri. Pertanyaan lain, apakah Pemilu 2014 kita akan
memiliki kepemimpinan yang membawa kita menuju kebangkitan dan perubahan?
Nasionalisme
muda Diakui, nasionalisme Indonesia tergolong paling muda. Dalam catatan Daniel
Dhakidae (2003), pada 1885 nasionalisme China daratan sudah dipelopori Sun Yat
Sen. Pada tahun yang sama, The National Congress didirikan di India. Di
Filipina, nasionalisme sudah dikembangkan pada paruh abad sembilan belas di
bawah pimpinan Aguinaldo dan Jose Rizal sebagai bentuk perlawanan terhadap
Spanyol.
Bila tergolong paling muda daripada China daratan, India, atau Filipina, bukan berarti nasionalisme Indonesia seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Sebagai sebuah teks yang terbuka atau interpretatif, nasionalisme Indonesia mengalami pergeseran orientasi akibat realitas global yang sarat kepentingan kapital. Karena itu, kita perlu nasionalisme baru.
Nasionalisme
baru adalah sebuah bangsa yang tak dikuasai kaum kapital dan pemilik modal
saja. Bila mereka, kaum kapitalis, saja yang menguasai sumber ekonomi negeri
ini, negara ini pastilah tak tentu arah sehingga keluh kesah dan gelisah
menyebar ke mana-mana. Masyarakat
miskin mengeluh buram menatap masa depan kebangsaan. Martabat bangsa pun
dicakar bahkan dicabik-cabik. Di mata negara luar kita dianggap remeh sehingga
mudah disadap.
Di
samping itu, di dalam negeri beragam kasus korupsi dan suap yang melibatkan
wakil rakyat, penegak hukum, dan pejabat Mahkamah Konstitusi. Laku tak beradab
menghancurkan martabat negeri yang berusaha tegak bangkit.
Persoalan kebangsaan memang bukan cuma masalah mencintai dan membela negara saja. Bila pelaksana negara melakukan tugas dengan baik, rakyat akan merasa lebih baik dan bangga menjadi bagian dari warga negara. Teladan kebaikan publik elite politik dan pelaksana negara akan memberikan dorongan bagi kaum papa untuk bangkit. Persoalan lain, suburnya berbagai bentuk tribalisme, fanatisme puak, suku, ras dan agama, menjadi pemicu membara yang melahirkan kekerasan.
Persoalan kebangsaan memang bukan cuma masalah mencintai dan membela negara saja. Bila pelaksana negara melakukan tugas dengan baik, rakyat akan merasa lebih baik dan bangga menjadi bagian dari warga negara. Teladan kebaikan publik elite politik dan pelaksana negara akan memberikan dorongan bagi kaum papa untuk bangkit. Persoalan lain, suburnya berbagai bentuk tribalisme, fanatisme puak, suku, ras dan agama, menjadi pemicu membara yang melahirkan kekerasan.
Tindakan bersama
Semestinya,
makna hidup di dalam republik berarti menerima suatu kenyataan bahwa yang
politik ialah yang luhur. Menurut Robertus Robet (2006), yang luhur merupakan
kesatuan di dalam tindakan manusia maka politik juga berarti sebuah pernyataan
kelahiran kembali manusia di dalam kebebasannya secara lengkap. Politik adalah
undangan yang terbuka dan terus-menerus.
Karena
itu, hidup di dalam republik berarti menerima keterbukaan akan cakrawala
politik yang tiada henti. Akibatnya tak dikenal hari libur bagi politik di
dalam republik. Di
sinilah letak pentingnya pendidikan politik. Namun, celakanya, pendidikan seba
gai jalan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa disemai sebagian kaum terdidik
untuk merusak republik.
Dalam
konteks pendidikan politik, Mestika Zed (2003:251) menjelaskan Bung Hatta
sebagai tokoh bangsa yang paling konsisten dan paling intens mengabdikan diri
dan partainya demi kaderisasi pemimpin bangsa. Sebagai
seorang yang sangat terpelajar sejak usia muda dan aktivitas politik yang tak
kenal menyerah, Bung Hatta tidak suka bila rakyat membeo kepada pemimpin
(termasuk pemimpin partai), menjadi objek tipu daya dan pembodohan diam-diam
demi kepentingan pemimpin sehingga segala sesuatu keputusan pemimpin harus
diterima dengan suka rela.
Bung
Hatta berkata, negeri yang rakyatnya hanya tahu menerima perintah dan tidak
pernah turut memperhatikan atau mengatur pemerintahan negerinya tidak memiliki
kemauan dan tidak melakukan kemauan itu dengan rasa tanggung jawab penuh. Jika
demikian, rakyat tidak akan pernah insyaf akan harga diri dan kedaulatannya
sehingga ia mudah tunduk ke bawah kekuasaan apa dan siapa saja. Rakyat akan
tetap tertindas oleh orang yang berkuasa.
Artinya,
pendidikan berkaitan erat dengan konsep perubahan kesadaran elite politik dan
kesadaran rakyat dari akar-akarnya. Pemahaman lebih luas dan mendalam tentang
pendidikan politik, pendidikan toleransi, dan pendidikan yang bumi merupakan
representasi perubahan dan kebangkitan ke arah yang lebih baik. Untuk menggapai
perubahan, perlu kehendak bersama mengejar keluhuran dan martabat bangsa.
Makna
hidup di dalam republik berarti hidup dalam konsekuensi etis secara kolektif
dalam menumbuhkan kepercayaan terhadap kepemimpinan republik. Karena itu, dibutuhkan
pemikiran dan tindakan bersama untuk menjadi sebuah republik yang menghendaki
adanya perubahan yang lebih baik. Bukan bersama kita bisa untuk selalu berkeluh
kesah dalam republik, tapi berusaha untuk bangkit.
Peneliti Populis Institute dan Maarif Institue for Culture and Humanity
Comments