Kepemimpinan Seolah-olah

Kompas, Kamis, 31 Oktober 2013
Oleh: David Krisna Alka
Laku politik suap telah membelenggu institusi politik di negeri ini. Celakanya, Mahkamah Konstitusi pun ikut melakukannya. Kepemimpinan institusi politik dan institusi hukum yang terkena dampak kuman korupsi membuat kepercayaan publik menurun drastis.
Di samping itu, kekuasaan kapital acap kali memayungi proses politik dengan menyelipkan kekuatan modal dalam menentukan pejabat politik atau berbagai kebijakan publik. Walhasil, kita pun sulit membedakan antara janji pejabat yang tulus dan kebohongan kebijakan yang merayu.
Selain itu, pejabat publik atau pejabat politik acap kali berbicara mewakili institusi politiknya, juru bicara mewakili pimpinannya, pejabat partai mewakili ketua umumnya, atau politisi mewakili pemodalnya. Maka, apa yang mereka sampaikan tidak mewakili dirinya sendiri demi tegaknya kebaikan publik di negeri ini.
Memang kekuatan sosok masih menjadi indikator penting bagi publik sehingga banyak yang menjadi sosok pemimpin se- olah-olah: seolah-olah bersih, seolah-olah antikorupsi, dan seolah-olah berani berantas korupsi.

Mereka bahkan berani mengeluarkan kata-kata. Kata-kata acap kali memakan tuannya. Misalnya, ”potong jari tangan jika terbukti korupsi” atau ”gantung saya di Tugu Monas jika korupsi”. Pejabat publik yang mengatakan itu sekarang malah jadi tersangka.

Kebohongan politik telah masuk dalam kehidupan sehari-hari. Memang susah menentukan pilihan figur politik mana yang diyakini sebagai pemimpin yang akan membawa perubahan.
Perlu keberanian untuk memilih dan menentukan kepemimpinan baru. Tanpa tedeng aling-aling, rakyat adalah penentu ke mana arah kepemimpinan politik di negeri ini melaju. Kehidupan politik di negeri ini perlu warna baru. Akankah muncul kepemimpinan baru?

Etos
Harapan kepemimpinan baru yang otentik masih dibayangi oleh kepemimpinan se- olah-olah. Di sisi lain, kultur politik yang pokoknya pilih yang kuat supaya dapat untung, pilih yang punya banyak fasilitas biar hidup terjamin, menjadi momok kepemimpinan politik menjadi tambah seolah-olah.
Hal lain yang menyedihkan adalah kemiskinan rohani dan kemiskinan kultur, yang tak jarang bermukim di balik kemewahan materi yang melimpah para elite politik kita. Akibatnya, kultur politik pun tak menetaskan etos kepemimpinan baru.
Sosok negarawan (statesmanship) dengan sendirinya dituntut untuk memiliki wawasan politik dan kebudayaan. Sebab, kita tidak dapat membangun suatu bangsa tanpa akar kebudayaan. Kita perlu memiliki kepemimpinan yang memiliki etos. Politik bukan hanya soal prosedural semata. Artinya, perlu kesadaran kultural dalam berpolitik. Pemimpin semestinya memiliki ekspresi tata nilai yang berhasil memadu konflik-konflik peranan di dalam diri dan di luar dirinya.
Menurut Daniel Dhakidae (1978), seseorang yang berpribadi karena keberhasilan dalam memadu etos dalam peranan masing-masing menuju tujuan berbangsa. Dan kita sebut sebagai bangsa yang berpribadi. Politik yang terdidik akan melahirkan etos pelaku politik yang berpribadi dan menciptakan lembaga politik yang sehat.
Kemudian, lahirnya kepemimpinan politik yang terdidik, yang tak muncul dari pancaran citra karena pemilik media atau menggelontorkan miliaran rupiah untuk tampil seolah-olah layaknya sosok pemimpin yang layak dipilih.
Republik ini tak butuh pemimpin yang hanya pandai bercitra ria, bukan pula yang hanya orator besar sekadar mampu menggerakkan semangat orang banyak. Yang diperlukan adalah organisator.
Yang dibutuhkan adalah corak kepemimpinan yang mempunyai kontrol cermat atas pelaksanaan keputusan-keputusan. Dan, corak kepemimpinan yang mampu menggerakkan sistem dan mengubah sistem penyelenggaraan negara menjadi lebih baik dan berkemajuan.
Lebih penting lagi adalah corak kepemimpinan yang mampu meruntuhkan tembok kultur korup yang berada dalam semua institusi negara di republik ini. Bukan sekadar kepemimpinan yang menampakkan etos kesalehan, melainkan kepemimpinan yang menanamkan kultur transformatif dan mencerahkan.
Itulah etos mumpuni kepemimpinan baru yang didambakan anak-anak bangsa ini. Akhirnya, ibarat suara peluit yang tak tahu dari mana datangnya, kepemimpinan politik yang seolah-olah hanya akan menimbulkan prahara politik yang tak habis-habisnya.

David Krisna Alka
Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
http://epaper.kompas.com/kompas/books/131031siang/index.html#/5/

Comments

Popular posts from this blog

Pergolakan Partai Politik dan Kualitas Demokrasi Kita

"Politik" Waktu; Selamat Tahun Baru

Fatmawati Srikandi Republik