Imajinasi Politik Kaum Muda
Media
Indonesia, 10 September 2013
Oleh:
David Krisna Alka
BILA
menengok perayaan ulang tahun kemerdekaan Republik ini beberapa waktu lalu,
dapatlah ditengok barisan kaum muda melakukan upacara dari istana sampai di
halaman balai desa. Namun, seberapa jauh ekspresi kemerdekaan kaum muda menjadi
bermakna sehingga dengan gagah mampu menciptakan kreativitas kolektif
menggalang perubahan corak kepemimpinan politik di Republik ini.
Sepertinya,
ekspresi politik kaum muda seolah bingung, ingin berjuang dari mana dan hendak
ke mana. Semestinya politik dihayati generasi muda untuk berperan aktif turut
mengambil bagian dalam negara. Termasuk ikut serta dalam pemilihan umum,
memilih dalam arti yang sebenar-benarnya memilih. Karena tiap warga negara yang
sadar akan kedudukannya sebagai warga negara, pastilah punya gambaran,
keinginan, cita-cita akan bentuk kekuasaan dari negara ini.
Namun,
apabila politik diartikan sebagai korupsi terhadap dasar dan kondisi hidup
manusia, menurut Wiratmo Soekito (1982:24), telah terjadi politik sebagai suatu
dehumanisasi. Partai politik sebagai saluran keinginan warga negara
dimanfaatkan sampai pada suatu perlombaan kekuasaan, kemudian menang dan mempertahankan
kekuasaannya itu dengan jalan apa saja. Apalagi kekuasaan yang dipegangnya itu
memberikan kesempatan yang sebaik-baiknya untuk menjalankan berbagai korupsi,
bahkan pengkhianatan kepada tanah air.
Jadinya,
partai politik telah lupa pada kedudukannya. Pertanyaannya, bagaimana generasi
muda ingin mengubahnya jika tak ada ketertarikan terhadap dunia politik? Partai
politik perlu menyajikan sesuatu yang baru dan memunculkan tokoh-tokoh baru
yang mampu merangsang imajinasi politik kaum muda.
Politik media sosial
Memang,
kreativitas politik generasi muda lebih banyak tampak dalam ranah media sosial.
Misalnya, mereka menyambut baik dan berharap kepada tokoh-tokoh politik baru
yang masih muda untuk dapat dipercaya mampu mengubah negara ini menjadi lebih
baik.
Di
samping itu, jika dicermati dalam kicau media sosial, dapat dilihat bagaimana
kicauan idealisme kaum muda tentang ruang publik yang sakit, tentang pejabat
publik yang korup, dan tentang apresiasi terhadap tokoh politik yang tidak
simpatik. Artinya, verbalitas kemerdekaan semakin luas dalam ranah media
sosial. Begitu pula dalam percakapan diskusi kaum muda di bilik perkantoran, di
kafe-kafe atau tongkrongan sosial lainnya.
Namun,
setelah 68 tahun Indonesia merdeka, apa arti kemerdekaan bagi kaum muda? Apakah
merdeka bebas berkicau di jagat media sosial tanda sudah merdeka? Apakah bebas
berhimpun di komunitas atau berorganisasi tanda generasi muda sudah merdeka?
Atau merasa lebih hebat dan lebih cakap dari para pejuang kemerdekaan karena
berhasil menumbangkan rezim Orde Baru sehingga merasa sudah merdeka?
Sayangnya,
lebih banyak kaum muda merasa merdeka karena bebas‘mencuap-cuap’ di jejaring
media sosial mengekspresikan kegembiraan, kesedihan, dan kemarahannya. Dalam
kenyataannya, kita belum melihat gerakan yang meluas dilakukan generasi muda
untuk serius memberantas korupsi dan menggalang perubahan gaya kepemimpinan di
negeri ini.
Yang
tampak malah beberapa politikus muda tidak hanya gagal melepaskan diri dari
praktik korupsi dan praktik menistakan keadaban publik, tetapi juga tidak
responsif terhadap kepentingan rakyat. Idealisme khas kaum muda sudah terisap
pada banyak hal, bahkan ada yang menjadi ikon politik transaksional.
Konon,
beberapa aktivis muda yang aktif di dunia politik, beberapa di antaranya seolah
terpenjara dalam ruang politik yang belum `merdeka'. Prasangka baiknya,
barangkali kaum muda yang aktif di ranah politik sedang bersiasat guna
menanamkan idealisme perjuangan politiknya untuk melakukan perubahan secara
sistemik.
Politik kebersamaan
Di sisi
lain, tak bisa dilupakan, kaum muda yang hanya bekerja, yang tak peduli soal
media sosial atau perdebatan publik apa yang terjadi di Republik ini. Soalnya,
masih banyak kaum muda yang hanya berpikir sekadar bisa bertahan hidup dan
meraih kepuasan hidup dengan hanya fokus bekerja.
Artinya,
secara politik, kebersamaan politik kaum muda memang belum terang kelihatannya.
Sepertinya, kaum muda masih mengalami pergumulan untuk menciptakan perubahan
penuh kemelut, baik di dalam dirinya maupun di luar dirinya.
Alhasil,
Pemilu 2014 tinggal menghitung bulan. Kepada tokoh politik siapa tonggak
kepemimpinan negara ini akan diberikan oleh generasi muda. Apakah tokoh lama
atau tokoh baru yang dikira mampu memberikan keteladanan dan kepercayaan untuk
mampu membuat Republik ini menjadi lebih maju. Mari bersama jawabannya kita
tunggu.
Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity dan Populis
Institute
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/index.aspx
Comments