Kursi, Korupsi, dan Bini
Secangkir
Teh Tong Tji dan sebungkus Roti Marie menemaniku menulis dalam sepi. Tak ada
suara cekakak-cekikik Citra Ali Fikri, tak ada suara Opik terkikik tertawa
sendiri, tak ada alun suara Rifqi bernyanyi menghibur hatinya sendiri.
Entah
apalah yang menganggu suasana hati malam ini. Membuatku tak mau membuka
pelajaran cara penulisan Hanzi yang telah diberikan oleh Laoshi. Aku malah
lebih memilih untuk menulis tentang kursi. Padahal besok tes bagaimana cara
penulisan Hanzi dengan benar. Oya, Hanzi itu adalah salah satu bentuk tulisan
logographic yang berasal dari negeri Tirai Bambu. Hanzi yang di Jepang dikenal
dengan Kanji dan Korea mengenalnya sebagai Hanja, merupakan salah satu tulisan
tertua yang masih digunakan hingga kini.
Dini
hari ini, aku kembali duduk di kursi lama yang kubeli kira-kira tujuh tahun
lalu. Di kursi yang kududuki ini, entah sudah berapa banyak karya tulis
tercipta, yang terpublikasi maupun yang belum. Kursi ini memiliki sejarah
pribadi dan arti tersendiri.
Mengapa
ada kursi, dari apa kursi dibuat, apakah kursi penting, apakah kursi hanya
berfungsi untuk tempat duduk, dan mengapa diberi nama kursi? Itulah beberapa
pertanyaan sok-sok filosofis tentang kursi. Sepertinya pertanyaan itu sepele.
Tapi, perlulah memikirkan hal sepele dengan hakikat kedalaman berpikir, seperti
berpikir tentang kursi. Bak seorang Plato yang memiliki teori tentang alegori
sebuah Goa.
Memikirkan
makna kursi, bermacam tafsir atau alegori tentang kursi dapat dicerna.Bayangkan
saja, saat ini untuk bisa duduk di kursi kuliah bisa habis jutaan rupiah. Belum
lagi jika ingin duduk di kursi senayan yang bisa tergadai ratusan hingga
milyaran rupiah. Begitu pula untuk meraih kursi tertinggi di partai politik.
Apalagi kursi kepresidenan, wow habis deh triliunan! Gara-gara kursi saja orang
bisa korupsi.
Nah,
berbeda dengan kursiku ini. Harganya murah. Tak sampai seratus ribu rupiah. Di
kursi ini, lahir tulisan pertamaku yang di muat Harian Kompas.
Kan
kurawat kursi ini. Supaya bisa menjadi pengingat, “tak perlu merusak diri
dengan korupsi demi sebuah kursi” Semoga kursi ini menjadi kursi tempat duduk
untuk kreatifitas diri. Melahirkan karya untuk anak-cucuku nanti.
Karenanya,
lakehlah babini, biar bisa ang “main” di ateh kursi…lai tadanga dek ang tuh
Cit! wkwkwkwk
Persada,
11 Februari 2012
Comments