IN MEMORIAM EDDY SANJAYA (KLENK)


Aku tak bisa memejamkan mata sekadar untuk mendiamkan raga. Kenangan saat bersamanya terus melayang-layang di depan pelupuk mata. 

Waktu kuliah, aku pernah berdekatan kosan dengannya. Kamarku di atas dan kamarnya di bawah. Setiap turun ke bawah, aku terkadang mampir ke kamarnya sekadar nonton tv atau bercerita tentang sajak dan melihat goresan-goresan gambarnya di atas selembar kertas putih yang sederhana. 

Aku pernah membaca puisi-puisinya. Salah satunya puisi tentang Ayah. Aku dan dia pernah ikut lomba baca puisi-puisi antologi nobel di Taman Ismail Marzuki. Sebelum mengikuti lomba itu, kami latihan bersama saling memeragakan gaya masing-masing. Lucu mengingat kenangan itu. 

Setelah peristiwa aku dan "Dia". Aku dan dia seakan memiliki rahasia. Rahasia yang membuat pelan-pelan aku mulai menjarak dengannya. Dia pindah kosan dan aku sudah jarang ke kampus dan melalang ke dunia yang berbeda. 

Waktu seakan berlari mengejar aku dan dia. Sesekali aku dan dia bertemu di kampus sekadar sapa, salam, dan kabar saja. Pun begitu pula ketika beberapa kali aku bertemu dengannya di kosan Bahtar dan Efri Aditya. Sapa, senyum, dan canda. 

Oh! gumpalan rasaku mengalir ke dada dan ingin mencurahkan air mata. Saat ini aku menjadi terharu. Kenangan menjadi rasa yang berbeda ketika seorang kawan sudah meninggalkan dunia. Dunia yang sudah tak tentu kapan hadir itu adalah datang dan pergi itu adalah hilang. Aku pun jadi ingat ketika mengobrol dengannya di facebook ini. Semangatnya dalam seni pertunjukan yang begitu menggebu. Mengajakku untuk merencanakan membuat group seni pertunjukan. Entah lagu apa yang ada di benakku. Rencana itu luluh oleh waktu yang tak mendorongku untuk menuju itu. 

Kira-kira sebulan yang lalu, aku merasakan keakraban kembali dengannya ketika bertemu dalam pertunjukan Putu Wijaya di Aula Departemen Pariwisata. Jabat tangannya erat, mengobrol sikat, bercanda, dan aku mengenalkan kepadanya seorang sutradara wanita yang berada di dekatku. 

Tiada tanda akan akhir sua yang bisa dibaca saat pertemuan itu. Memang Allah yang punya kuasa terhadap tanda dan nyawa. Sudah jelas rasanya berbeda bila dalam kenyataan kita ditinggalkan selamanya oleh seorang kawan. Karena kenyataan tak bisa dilawan oleh ingatan. Tapi ingatan menyimpan kenangan. Dari hatiku yang paling dalam dan airmata yang tertahan, selamat jalan kawan. Allah memang Maha Sayang. 
Belakang Dua Menara, 04 : 54 WIB, 21 April 2010

Comments

Popular posts from this blog

Pergolakan Partai Politik dan Kualitas Demokrasi Kita

Fatmawati Srikandi Republik

"Politik" Waktu; Selamat Tahun Baru