Jokowi, Kemiskinan, dan Imbauan
Meski
berkurang dari Maret 2015, jumlah penduduk miskin di negeri ini masih cukup
tinggi. Kesenjangan ekonomi dan sosial masih terjadi di semua lini. Artinya,
rasa menjiwai nasib rakyat miskin oleh elite negeri ini belum begitu berarti.
Di tengah masih banyaknya rakyat miskin, elite kita masih ada yang menari-nari
di atas kemiskinan rakyat. Ditambah lagi berbagai bencana di beberapa daerah
mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi melambat, dan bisa jadi angka kemiskinan
terus meningkat.
Pemerintah
tentu tak sekadar memberi harapan semu bahwa ekonomi nasional akan segera
tumbuh pada tahun ini. Tumbuh pun ekonomi tetap saja masih banyak penduduk
miskin yang tidak dapat menikmati hasil pertumbuhan tersebut. Apalagi ketika
ekonomi melambat, orang miskin dan hampir miskin terkena berlipat dampaknya,
bertambah miskin.
Kebanyakan penduduk yang miskin memperoleh pencarian dalam sektor informal karena mereka tergolong unskilled labour. Mereka mendapat pekerjaan sebagai tenaga buruh, penjual makanan kecil, pemulung, dan lain sebagainya. Penghasilan mereka minim dan tidak tetap, jam kerja mereka tak terbatas. Sering mereka menghadapi masalah bagaimana besok bisa makan, anak-anak mereka ingin sekolah, dan pasti minta jajan.
Menurut
Sartono Kartodirdjo (2005:156), karena tidak memiliki sumber daya, baik
material maupun intelektual, ada dua kemungkinan kecenderungan mental terjadi,
antara lain (1) timbul mentalitas pasif, indolen, responsif; (2) tumbuh pada
dirinya sifat agresif, eksploitatif, protes.
Berdasarkan
kondisi ekonomi minimal, kehidupan orang-orang miskin dikuasai oleh
kompleksitas sifat-sifat yang saling mempengaruhi serta saling memperkuat,
dengan dampak lingkaran setan. Ini yang disebut sindrom kemiskinan, yang
mencakup antara lain (1) sifat pasif; (2) indolensi; (3) fatalisme; (4) sifat
statis.
Perihal
masalah kaum miskin tersebut lazimnya ditentukan oleh golongan berkedudukan (established).
Melekat pada stereotipe itu ialah negasi (pengingkaran) setiap identitas. Ini
berarti, kaum miskin adalah nonfaktor atau nobody. Tak mengherankan
kalau golongan atas memandang rendah atau meremehkan, acapkali juga tidak
mengakui sebagai sesama manusia (ora diwongake).
Semestinya,
golongan atas atau elite negeri ini di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo
diharapkan mampu menguatkan solidaritas untuk mengurangi jumlah penduduk
miskin. Selain itu, keseriusan pemerintah juga dituntut untuk mengatasi
persoalan masyarakat miskin. Membangun bangsa dan menciptakan masyarakat yang
cerdas, adil, dan makmur dengan berbagai caranya. Meroketkan ekonomi yang
melambat tentu tak banyak artinya jika struktur kemiskinan yang membelenggu
banyak orang tidak segera diatasi.
Jadi,
bukan sidang paripurna yang heboh di gedung wakil rakyat, bukan pula sekadar imbauan
optimisme yang disuarakan, namun butuh solidaritas bergerak untuk meningkatkan
ekonomi negara yang melambat. Perlu kedalaman hati dan kesungguhan tekad para
elite republik ini untuk urun rembuk menguatkan ekonomi rakyat dan menyediakan
lapangan kerja yang layak.
Selain
itu, menyitir pandangan Soedjatmoko, yang dikutip Idi Subandy Ibrahim
(2005:94), kita perlu membangun suatu kebudayaan baru yang kembali menempatkan
manusia sebagai pelindung dan pemelihara alam serta segala kekayaannya, dan
yang mampu untuk memayu hayuning bawono, yakni dapat menyelamatkan umat
dan memupuk kesejahteraan, menuju keraharjaan, keselamatan, dan kerahayuan.
Artinya,
di tengah masih banyaknya ketimpangan dan kemiskinan, yang diperlukan bukan
sekadar solidaritas ucap. Tetapi perlu menguatkan kebudayaan baru, yaitu budaya
bergerak, bukan sekadar budaya ucap.
Nah,
jika ternyata tahun ini angka kemiskinan malah meningkat, apalagi yang hendak
disampaikan. Kalau memang ternyata suara sidang wakil rakyat dan imbauan
optimisme bahwa ekonomi negeri tahun ini akan bangkit hanya suaranya saja
hebat, bukan gerakannya yang mantap. Semoga tidak.
David Krisna Alka
Rabu,
6 Januari 2016
Comments