Fatmawati Srikandi Republik
Memperingati Hari Ibu setiap
22 Desember adalah momen spesial untuk menunjukkan rasa cinta yang lebih
mendalam kepada bunda yang melahirkan dan membesarkan kita. Momen Hari Ibu juga
dapat kita maknai untuk mengenang “bunda-bunda” yang turut berjuang mendirikan
republik ini. Salah seorang Bunda Republik itu adalah Fatmawati.
Barangkali, generasi zaman
kini sekadar ingat yang biasa-biasa saja dengan ibu negara pertama republik ini.
Fatmawati Soekarno, penjahit pertama bendera Sang Saka Merah Putih. Berikut ini
marilah kita mengulang kisah tentang sosok Bunda Republik ini.
Fatmawati adalah putri dari
sejoli aktivis Muhammadiyah, Hassan Din dan Siti Chadidjah. Hassan Din
merupakan konsul pertama yang mendirikan ormas keagamaan Muhammadiyah di
Bengkulu. Hassan Din berperan serta dalam arus besar zaman pergerakan nasional
yang di akhir tahun 1920-an telah tersebar sampai ke pelosok-pelosok tanah air.
Di Bengkulu, Hassan Din mempelopori pendirian Muhammadiyah dan kemudian menjadi
salah satu pimpinan.
Fatmawati tumbuh besar di
zaman yang payah. Akan tetapi, zaman susah yang harus dialami Fatmawati kecil
bukan hanya lantaran tekanan ekonomi global, melainkan karena tindakan
semena-mena pemerintah kolonial Belanda yang harus diterima oleh sang ayah.
Tentu saja, Fatmawati kecil belum dapat memahami dan merasakan denyut pergerakan
kebangsaan kala itu. Tapi kegetiran hidup sudah dapat dirasakannya.
Menuju merdeka
Singkat kisah setelah
menikah dengan Bung Karno, pada tahun 1944 dalam keadaan mengandung anak
pertamanya, Fatmawati masih sibuk menjahit. Ceritanya, suatu ketika Fatmawati
menerima dua gulungan kain berwarna merah dan putih dari seorang serdadu Jepang.
Fatmawati pun menjahit kain tersebut menjadi bendera merah putih dengan
tangannya sendiri, karena ia tidak diperbolehkan lagi memakai mesin jahit kaki.
Pada tahun yang sama,
Fatmawati melahirkan putra pertamanya yang diberi nama Muhammad Guntur Soekarno
Putra. Selain sibuk mengurus anak pertamanya, Fatmawati tetap mendampingi Bung
Karno yang sibuk bersidang di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Fatmawati tampak hadir dan mendampingi Bung
Karno dalam rapat tersebut.
Pada tanggal 16 Agustus 1945
terjadilah peristiwa Rengasdengklok, di mana Bung Karno dan Bung Hatta diculik
oleh para pemuda, karena di Jakarta terdengar kabar akan pecah revolusi.
Fatmawati juga ikut mendampingi suaminya sekaligus membawa Guntur yang masih
bayi. Namun, revolusi yang didengungkan para pemuda itu ternyata tidak
terbukti. Sehingga, Bung Karno dan Bung Hatta, serta Fatmawati pun kembali ke
Jakarta.
Pada malam tanggal 17
Agustus 1945, diadakan rapat para anggota BPUPKI yang memutuskan akan
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yang akan dibacakan oleh Bung Karno
bersama Bung Hatta di halaman rumah Jl. Pegangsaan Timur, Jakarta. Saat
proklamasi kemerdekaan Indonesia dilangsungkan, Bendera Merah Putih jahitan
Fatmawati pun berkibar diiringi lagu Indonesia Raya.
Pada tanggal 19 Agustus
1945, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dalam sidangnya memilih
Bung Karno menjadi Presiden pertama Reublik Indonesia. Dan Fatmawati secara
resmi menjadi Ibu Negara Republik Indonesia yang pertama.
Teladan bangsa
Saat mendampingi Bung Karno
sebagai presiden, penampilan Fatmawati tetap sederhana. Ia memberikan teladan
yang baik bagi kaum perempuan Indonesia saat itu, baik dalam bersikap,
bertingkah laku maupun dalam berpakaian. Fatmawati selalu memakai kerudung yang
menjadi ciri khasnya, Bung Karno selalu memuji.
Fatmawati ramah dan mudah
bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat. Di tengah suasana revolusi yang
mencekam, Fatmawati juga sering mengikuti kunjungan Presiden Soekarno ke berbagai
wilayah untuk membangkitkan semangat perlawanan rakyat terhadap Belanda.
Diantaranya, kunjungan ke Garut, Tasikmalaya, Cirebon, dan Malang.
Pada tahun 1950, Fatmawati
mendampingi kunjungan pertama kepala negara Indonesia ke luar Negeri. Ketika
itulah, Fatmawati mendapat pengalaman pertama melakukan perjalanan kenegaraan
ke luar negeri yaitu ke India, Pakistan, dan Burma. Selain menjalankan peran
sebagai ibu Negara, Fatmawati aktif dalam kegiatan sosial, pemberantasan buta
huruf, juga mendorong kegiatan kaum perempuan dalam pendidikan dan ekonomi.
Pada akhir tahun 1965,
situasi politik di Indonesia sangat riuh. Lima tahun kemudian, tepatnya pada 21
Juni 1970 Bung Karno wafat masih dalam keadaan sebagai tahanan rumah. Fatmawati
sangat terpukul mendengar kabar itu. Ketika permohonannya agar jenazah Bung
Karno disemayamkan di Jalan Sriwijaya ditolak, Fatmawati hanya bisa pasrah.
Sesuai dengan kesepakatan
semua pihak, peti jenazah Bung Karno tidak ditutup sampai batas akhir pukul
24.00 WIB. Namun, sampai detik-detik terakhir, Fatmawati tak kunjung datang.
Fatmawati mengirimkan karangan bunga bertuliskan kalimat pendek penuh makna: “Cintamu
yang menjiwai hati rakyat, cinta Fat”.
Begitulah sekelumit cerita
dari berbagai kisah tentang Fatmawati Soekarno. Semoga sekilas kisah ini dapat
menjadi cermin bagi kita tentang perjuangan dan teladan sosok Bunda Republik
ini. Nyatalah bahwa cinta Fatmawati adalah cinta yang luhur, mulia, gemilang,
dan bermartabat. Sosok Bunda Republik yang memiliki keunggulan karakter, yang
kini, seolah terasa hilang dalam diri sebagian elite politik kita, yang tak mencintai
dan menjiwai hati rakyat Indonesia. Selamat
Hari Ibu.
Comments