Elite Politik dan Kisah Buruk Muka Cermin Dibelah
Kehidupan
politik Indonesia di tahun 2016 baru saja berjalan. Imbauan untuk tidak gaduh
di tahun ini justeru dibuka dengan beberapa pernyataan dari Kementerian
Pendayaagunaan Aparatur Negara (PAN) yang sempat memicu “kegaduhan”. Ya,
tentang “rapot sekolah” beberapa kementerian dan lembaga pemerintahan.
Sudahlah,
sebaiknya tak usah lagi tahun ini mengulang kisah buruk dunia politik kita
seperti tahun-tahun kemarin, seperti kisah kasus “papa minta saham”. Saham di
sini dapat ditafsirkan saham sebenar-benarnya saham atau saham politik
gertak-gertakan. Namun apa hendak dikata, begitulah dunia politik kita. Mau
ditahan pun, prediksi saya tahun ini tetap akan berlanjut muncul beberapa
kegaduhan.
Memang,
banyak macam gaya dalam dunia politik kita. Yang kelihatan tenang, eh tak
tahunya menghantam memecah martabat republik. Afiliasi dan loyalitas politik
dibentuk untuk menderas ketegangan dan permainan transaksi politik \”haram\”.
Misalnya, ada politisi berkoar-koar di atas panggung politik dan pernyataan di
media bahwa politik tanpa mahar, tapi nyatanya bermain uang \”haram\” di
belakang layar. Ada juga politisi yang mencatut nama presiden demi kepentingan
pribadi atau golongan, yaitu “papa minta saham”.
Nah,
jika politik tunaadab dengan gaya tipu daya dan berbagai muslihat busuk yang
melulu dimainkan, dari rahim republik ini tak akan pernah muncul negarawan.
Ahmad Syafii Maarif (2015) pernah menggugah, sebagian besar politisi yang
muncul dalam 11 tahun terakhir umumnya adalah manusia yang tunavisi dan
tunakepekaan. Buya Syafii Maarif menjelaskan, semestinya Indonesia akan lebih
stabil karena secara kultural bangsa telah terbentuk sebelum negara muncul
sebagai konsep politik pada 17 Agustus 1945.
Tetapi,
semuanya itu tidak terjadi karena rahim bangsa ini belum melahirkan para
negarawan dalam jumlah yang diperlukan untuk berbagai tingkat dan sektor. Yang
banyak tampil adalah politisi dan birokrat dengan wawasan yang tidak jauh ke
depan. Mereka mudah sekali memperdagangkan prinsip yang semestiya dipegang.
Di
sisi lain, terlihat fenemona pejuang politik yang mencari kebenaran dalam
politik untuk membangkitkan perannya dan terlibat langsung dalam persoalan
nyata di masyarakat. Pejuang pencari kebenaran dalam politik merasa bertanggung
jawab sebagai warga republik ketika melihat adanya tindakan politisi yang
licik, kebijakan yang tidak baik, muncul kesadaran politik mereka untuk terjun
membela yang benar dan baik.
Suara-suara
pejuang politik untuk kebenaran itu terbukti acapkali mempengaruhi kebijakan
politik di negeri ini. Mereka bersatu membela apa dan siapa yang mereka anggap
benar. Namun, perjuangan mereka terkadang naik-turun dan terkadang pula bergelombang
tak beraturan.
Para
pejuang kebenaran dalam politik bertanggung jawab untuk memperbaiki kualitas
demokrasi dan merawat bangsa ini. Dengan demikian kabut tebal dan langit kelam
demokrasi tak selalu menyelimuti bumi pertiwi ini.
Memang
diperlukan upaya sungguh-sungguh, baik pejuang politik di dalam maupun di luar
partai politik, untuk memperbaiki demokrasi di republik ini. Sebab, demokrasi
bukanlah musuh kebenaran dalam politik. Terbukti, dari berbagai peristiwa
kegaduhan politik mutakhir, keterlibatan dan suara para pejuang kebenaran
politik kenyataannya terbukti didengar. Baik lewat aksi nyata maupun aksi media
sosial yang kemudian mempengaruhi keputusan politik pemimpin republik.
Bachtiar
Effendy (2015) pernah menulis, ada dua pemangku kepentingan utama dalam
kaitannya dengan perbaikan kehidupan demokrasi dan sistem kepartaian: pemilih
dan yang dipilih. Pemilih adalah mereka yang memiliki hak untuk memilih.
Bersamaan dengan hak yang mereka miliki, para pemilih juga mempunyai kewajiban
untuk mengetahui siapa yang bakal mereka pilih dan atas dasar apa mereka
memilih.
Untuk
itu, ke depan masyarakat pemilih diharuskan untuk mempelajari segala sesuatu (track
record) yang berkaitan dengan orang yang akan dipilih dalam kepemimpinan politik
nasional maupun di daerah. Walau terkadang kenyataannya kita benar-benar
dihadapkan pada lingkaran setan (vicious circle) yang tidak tahu dari
mana harus memulai kerja-kerja restoratif untuk membenahi situasi demokrasi dan
sistem kepartaian yang ada. Toh, harapan dan optimisme dalam politik mesti
terus ditumbuhkan supaya politik jauh dari kotoran dan sekadar obral janji yang
miskin realisasi.
Semoga
tahun ini dan ke depan politik kita tumbuh dan jauh dari praktik kumuh. Politik
yang merawat bangsa membutuhkan ilmu dan kedalaman hati serta keunggulan jiwa,
sehingga kebenaran dan kearifan menyatu dalam politik kita. Bukan bersuara dan
berteriak seolah paling bermoral, tapi kenyataaan dalam perilakunya justeru
sebaliknya. Kalau sudah begitu, bagaimana bisa dunia politik kita merajut
republik sehingga menjadi lebih baik?
Jika
ternyata tahun ini pemufakatan politik “jahat” untuk merusak bangsa ini semakin
meningkat, apalagi yang hendak disampaikan. Kalau memang ternyata kepribadian
politik manusia Indonesia terang-benderang buruk rupanya, maka berlakulah
pepatah lama, buruk muka cermin dibelah.
Penulis
David Krisna Alka -
Jumat,
15 Januari 2016
Comments