Pergolakan Partai Politik dan Kualitas Demokrasi Kita
David Krisna Alka
Media Indonesia, 15
Januari 2015
Tahun sudah berganti, tetapi konflik di tubuh partai politik tak kunjung berhenti. Khawatir partai politik akan selalu dipandang `miring' di mata publik bila tak berbenah.Harapan bahwa parpol menjadi jiwa dari demokrasi di republik ini bisa sirna.
Kadang kita ragu-ragu
antara sinisme dan harapan, bahwa partai politik ialah alat politik yang dapat
dipercaya sebagai saluran aspirasi publik, bukan saluran semata kekuasaan
politik elite. Terkadang dengan mencibir, kita saksikan perebutan kursi ketua
umum partai politik tak kunjung sudah dan berakhir dengan kepengurusan ganda.
Bukankah pengurus-pengurus partai politik itu ialah orang-orang yang telah
mempelajari politik, sehingga kemudian mereka berkecimpung dalam dunia politik?
Dengan asumsi yang
sederhana, jika kalangan elite, kader, dan tokoh senior sebuah partai politik
sudah matang dalam berpolitik, semestinya partai itu menjadi lebih kukuh dan
menyatu padu meningkatkan kualitas demokrasi di Republik ini.
Kualitas demokrasi
Padahal, dalam
evaluasi Pemilu 2014 lalu, survei Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di 34 provinsi di Indonesia, memaparkan bahwa 80%
menyatakan pemilihan presiden dan legislatif telah diselenggarakan cukup baik
dengan acuan bebas dan adil.
Terkait persoalan
partisipasi poli tik dalam Pemilihan Presiden 2014, The Indonesian Institute
berpendapat bahwa Pilpres 2014 sebagai salah satu pemilu berkualitas yang
pernah diselenggarakan di Indonesia. Meningkatnya kualitas pilpres disebabkan
tingginya partisipasi generasi muda yang ditunjukkan dengan berbagai macam
model-model partisipasi di dalam tiap tahapan Pilpres 2014. Lalu pertanyaannya,
bagaimana dengan partai politiknya?
Ya, persoalan yang
kini acap kali bergolak dan kemudian pecah dalam partai politik ialah soal
regenerasi kepemimpinan di tubuh organisasi tersebut. Dari pergolakan itu
kemudian muncul kubu-kubuan, antara kubu tua dan kubu muda. Jadi, niat
kekuasaan individu tampak lebih menonjol daripada keinginan untuk menumbuhkan
kepercayaan publik terhadap partai politik menjadi lebih baik.
Dalam politik memang
perlu mempelajari kekuasaan. Namun, menurut David E Apter (1987:6), bukan
kekuasaan yang intim, pribadi, dan kekuasaan perorangan yang mencakup hubungan
timbal balik, melainkan kekuasaan kemasyarakatan, kolektif, dan
publik.Perbedaannya lebih dari sekadar perbedaan skala. Rasa hormat dan
perhatian timbal balik mengikat keluarga bersama-sama, tetapi dalam komunitas
politik yang lebih luas, ikatan-ikatan kewajiban lebih longgar.
Suatu wujud wewenang
yang abstrak ialah lebih penting. Kehidupan kita mengambil bentuk dan makna
dalam batas-batas wewenang, baik yang bersifat kekeluargaan maupun yang
bersifat politik, bersifat perseorangan ataupun kolektif, dan bersifat pribadi
maupun publik. Kita bisa membaca sejarah politik sebagai sejarah zaman. Membaca
tandatanda zaman merupakan sebagai usaha manusia Indonesia. Manusia bukan robot
yang ditentukan mekanisme ekonomi atau teknik.Usaha manusia ialah suatu proyek
yang dialektis, yakni hal logis yang muncul dari rawa-rawa materi, dari chaos,
dari hal yang kebetulan.
Menurut Brouwer
(2004:21), bahwa satu tanda zaman ialah keyakinan yang nyata dalam semboyan
don't speak on the underdog! Jangan menyepak orang yang sudah setengah mati!
Jangan mengisap darah orang yang darahnya sudah habis. Jangan menindas orang
yang tidak berdaya. Jangan mencuri obat rakyat kecil, sedangkan yang mampu
berobat ke Singapura.
Jadi, jantung politik
dan demokrasi itu ialah publik. Partai politik tanpa suara publik akan menjadi
wadah politik yang hampa. Rakyatlah yang memutuskan. Vox populi vox dei. Sudah
seharusnya, selain aktor politik belajar ilmu politik, juga mengerti
tanda-tanda zaman, mengerti logika sejarah, dan mengerti bahwa kualitas
demokrasi tergantung sejauh mana kualitas aktor politik serta partai politik.
Ingat, rakyat kecil
itu bisa bersuara, menangis, merasa, dan berpikir.Mereka bukan hewan, melainkan
makhluk dengan jiwa dan akal.Pelajarannya, yaitu jangan lagi bikin kecewa dan
menyakiti hati rakyat yang sudah berpartisipasi untuk meningkatkan kualitas
demokrasi di Republik ini.
Zaman berubah, nalar
politik manusia Indonesia berkembang dan sudah berubah. Banyak hal yang dulu
dapat diterima, tetapi sekarang tidak lagi. Begitu pula pandangan publik
terhadap partai politik.
Peneliti The
Indonesian Institute
Maarif Institute for
Culture and Humanity
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2015/01/15/ArticleHtmls/Pergolakan-Partai-Politik-dan-Kualitas-Demokrasi-Kita-15012015006003.shtml?Mode=1#
Comments