Menghadirkan Pemimpin Kemanusiaan
Media Indonesia, 4 Juli 2014
KESADARAN autentik dalam diri manusia adalah hati kemanusiaannya. Jika lubuk hati kemanusiaan manusia sudah tumpul, keberingasan dan aum
kegarangan menyeruak bak macan yang girang setelah menerkam mangsanya.
Kesadaran autentik rakyat dalam Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 ini
bakal diuji. Kesadaran untuk memilih pemimpin kemanusiaan 200 juta lebih rakyat
Indonesia sudah di depan mata. Setelah hati kemanusiaan kita terombang-ambing
oleh berbagai fitnah dan sumpah serapah kebinatangan bersilweran di depan mata,
saatnya mengembalikan kesadaran autentik kemanusiaan kita untuk memilih
pemimpin yang mampu menjaga kemanusiaan dan keberadaban bangsa Indonesia.
Pemimpin yang bekerja
Saat kita melihat dan merasakan musim bunga tiba, musim pergerakan
alam, mengalirnya air sungai, keluarnya mata air, datang dan perginya burung-burung,
usapan lembut angin di pagi hari, gelombang pergerakan angin dari satu kawasan
ke kawasan yang lain, semua itu adalah bagian dari alam yang menjadi guru bagi
umat manusia. Yang membangunkan kita untuk bangkit dari rasa tidak bersemangat.
Mengajak kita untuk bergerak, bergembira, bekerja, dan berusaha.
Kita banyak belajar dari pergerakan alam. Segala yang ada di alam semesta senantiasa bergerak, berkembang, dan bekerja untuk membangun sistemnya. Dengan demikian, kepemimpinan yang menginspirasikan rakyatnya untuk bekerja, memiliki etos kerja, dan telah membuktikan kerjanya, adalah kepemimpinan kemanusiaan yang bakal mendorong bangsanya menjadi maju dan hebat.
Kerja lebih utama daripada sekadar suara dan perintah.Kepemimpinan yang
bekerja menandakan adanya pergerakan dan kemajuan untuk kemanusiaan. Bangsa ini
menjadi besar dan bermartabat tatkala pemimpinnya menjadi teladan terhadap
capaian kerja yang dilakukannya. Bagaimana mungkin kita bisa bangkit dan hebat
jika tak bekerja. Bagaimana mungkin bangsa bermartabat jika pemimpinnya tak
pernah menunjukkan bukti kerja kerasnya dalam membangun bangsa.
Frans Magnis Suseno (1978:23) pernah menjelaskan tentang kenyataan
bahwa selama berabad-abad para fi lsuf sama sekali tidak memerhatikan
pekerjaan. Padahal tak ada seorang filsuf yang akan bisa hidup dan berfilsafat
kalau tak ada o rang lain yang mengolah tanah untuknya, menghasilkan makanan
dan menjahitkan pakaiannya. Begitu pula dalam cerita wayang, percuma kita
mencari tahu dari mana para Pandawa mendapat nasinya setiap hari agar kuat
menjalankan Perang Baratayuda.
Karena itu, masyarakat Indonesia memerlukan keteladanan dari seorang
pemimpin yang memiliki etos kerja yang tinggi demi kemajuan negeri. Pertanyaannya,
sikap-sikap seperti apa saja etos pekerjaan itu?
Frans Magnis Suseno mengutip Gunnar Myrdal dalam Asian Drama menyebutkan 13 sikap, yaitu: efi siensi, kerajinan, kerapian, sikap tepat pada waktunya, kesederhanaan, kejujuran 100%, sikap mengikuti rasio dalam mempergunakan kesempatan-kesempatan yang muncul, sikap bekerja secara energetis, sikap bersandar pada kekuatan sendiri, sikap mau bekerja sama, dan kesediaan untuk memandang jauh ke depan. Hal ini merupakan contoh baik yang dimiliki seorang pemimpin.
Frans Magnis Suseno mengutip Gunnar Myrdal dalam Asian Drama menyebutkan 13 sikap, yaitu: efi siensi, kerajinan, kerapian, sikap tepat pada waktunya, kesederhanaan, kejujuran 100%, sikap mengikuti rasio dalam mempergunakan kesempatan-kesempatan yang muncul, sikap bekerja secara energetis, sikap bersandar pada kekuatan sendiri, sikap mau bekerja sama, dan kesediaan untuk memandang jauh ke depan. Hal ini merupakan contoh baik yang dimiliki seorang pemimpin.
Selain itu, teladan pemimpin yang lain adalah sikap adil terhadap
sesama; keseimbangan antara hak dan kewajiban; menghormati hak-hak manusia;
suka memberi pertolongan dengan tujuan agar yang ditolong bisa berdiri sendiri;
memakai miliknya tidak untuk memeras, tidak menyebar ancaman, tidak boros,
tidak untuk hidup bergaya mewah; bekerja keras dan menghargai hasil karya orang
lain.
Pemimpin kemanusiaan
Di tengah ramainya kampanye keji dan fitnah yang direkayasa--sudah
fitnah direkayasa pula--tampak dan terasakan bahwa kita belum mencapai tingkat
keadaban (civility) yang patut
dibanggakan. Di sisi lain, kepura-puraan kadang terbungkus dalam jubah
kejujuran. Kepemimpinan yang bermanis kata-kata, tapi tak ada bukti nyata
adalah penyakit mental yang harus dienyahkan dari bumi Pancasila. Ya, kita tak
ingin terpesona oleh tebar pesona pengobral kata tanpa diiringi langkah nyata
untuk perbaikan bangsa.
Pilpres ini adalah momentum penentuan arah kepemimpinan kemanusiaan
Indonesia lima tahun ke depan. Bila berkaca pada gejolak kemanusiaan dalam
menentukan pemimpin di beberapa negara di dunia, tampaklah pentingnya kesadaran
kemanusiaan kita agar republik ini tak terpecah belah.
Dalam hati kemanusiaan, di dalamnya muasal tumbuh kemanusiaan yang adil
dan beradab. Ketidakadilan dan ketakberadaban bukan milik hati manusia. Tetapi,
milik yang disebut bukan manusia, milik macan, misalnya.
Karena itu, keutuhan bangsa Indonesia harus dijaga. Karena pilihan
kemanusiaan kita ketika mencoblos antara dua calon pilpres mestilah didasari
kesadaran autentik dari hati kemanusiaan kita, bukan dari kejahatan hati
kemanusiaan kita. Mari kita menangkan hati kemanusiaan kita untuk kemanusiaan
yang adil dan beradab.
David Krisna Alka Pemikir Politik Kebudayaan Populis Institute dan Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/#
Comments