Demokrasi Gigit Jari
YANG
tampak dan yang terasa dalam terang dan gelap masalah politik Indonesia
hari-hari ini adalah kemunculan kata-kata puji dan caci yang hanya ditentukan
lewat ujung jari tangan penekan tombol abjad. Setiap kata menjadi berita yang
melintas di layar komputer, telepon pintar, atau tablet.
Kenyataannya,
persoalan politik menjelang Pemilu 2014 memang banyak terkait dengan ujung
jari. Pemilu yang tinggal menghitung hari, para calon anggota legislatif dan
calon presiden yang bersiap menghitung biaya politik untuk meraih suara
pemilih, semua lewat ujung jari.
Kultur
politik ujung jari semakin menjadi-jadi tatkala alam sadar rakyat terbuai oleh
jari-jari tangan penguasa. Ada yang sekadar melambai dengan janji-janji. Ada
yang lewat ujung jarinya menebar uang membeli suara. Namun, kembali semua tanpa
bukti. Ujung jari tetap bersih menari-nari.
Politik bukti
Padahal,
bukti menjadi kata kunci. Dengan bukti, kepercayaan terhadap persona politik
menjadi pasti. Bukti berarti segala program dan janji direalisasikan sang
politisi. Maka, kepada para pemilih, lihat dan pantaulah bukti-bukti yang
terang benderang untuk menimbang apakah para pelaku politik atau partai politik
itu layak dipilih atau tidak. Dengan demikian, kemunafikan kita tekan dan
demokrasi menjamin orang baik yang terpilih.
Mochtar
Lubis (1999:14) pernah merasa kemunafikan telah mengisi rongga kepala, hati,
jiwa, dan seluruh tubuh kita. Dalam hati kita tidak setuju, tetapi kita berbuat
korupsi. Karena baik yang menerima maupun yang memberi sama-sama melakukan
korupsi. Kita mengutuk penyalahgunaan kekuasaan, tetapi ikut menyalahgunakan
kekuasaan.
Budaya
kita penuh dengan acara dan seremoni yang mengagungkan dan meluhurkan hal-hal
yang belum menjadi kenyataan. Kita semua bersikap bahwa apa yang sebenarnya baru
merupakan kehendak, sebuah lambang, atau hanya semboyan, seakan telah menjadi
kenyataan hidup dan sekadar dihayati dalam hati.
Apa
yang dicari di dalam demokrasi jika pelaku demokrasi bermain menghalalkan
segala cara? Siapa yang diperjuangkan apabila di negeri ini keinginan politik
dikalahkan oleh kepentingan kelompok dan pribadi?
Tipu
daya dalam politik menjadi sangat biasa dilakukan untuk meraih kekuasaan.
Apakah cukup menyehatkan dan menyegarkan demokrasi jika sekadar mengomentari
atau memperbarui status, dan memberi tanda like di jejaring media sosial?
Jawabannya tentu saja bukan itu.
Gigit jari
Namun,
di sisi lain, pemilu tahun ini juga ditentukan oleh ujung jari tangan rakyat.
Sebab, kedaulatan ada di tangan rakyat. Dengan harapan, kesadaran rakyat untuk
datang memilih tinggi.
Republik
ini entah bakal jadi apa jika rakyat tak mau menggunakan hak pilihnya karena
yang datang ke tempat mereka cuma iklan dan spanduk, bukan calon anggota
legislatifnya, bukan calon presidennya, dan barangkali hanya siraman uangnya.
Suara-suara
sumbang bakal rendahnya partisipasi publik dalam pemilu tahun ini perlu
diwaspadai. Segencar apa pun sosialisasi politik agar rakyat menggunakan hak
pilihnya, kedaulatan ada di tangan rakyat. Demokrasi bukan ditentukan oleh
ujung jari penguasa.
Buya
Syafii Maarif pernah mengingatkan, yang perlu diwaspadai dan diprihatinkan
adalah sikap pemilih pemula yang jumlahnya di atas 30 persen. Mereka tampak
lesu darah untuk turut memilih karena melihat perjalanan demokrasi yang cacat
moral di tangan politisi yang tidak bertanggung jawab.
Padahal,
generasi muda ini sesungguhnya sangat berkepentingan bagi tegaknya sebuah
bangunan demokrasi yang sehat sebab dalam tenggat 15-20 tahun yang akan datang
merekalah yang akan menjadi pemain utama di panggung perpolitikan nasional dan
daerah.
Alhasil,
semoga rakyat tak tergiur rayuan gombal pencitraan yang tak menunjukkan bukti.
Rakyat
akan menggenggam jari-jari tangannya menjadi tinju sebagai bentuk perlawanan
terhadap proses pemilu yang kacau dan ketidakadilan yang bersimaharajalela.
Kekisruhan
akan menjadi malapetaka yang mengerikan jika pemangku tanggung jawab pemilu
tidak memikirkan dan mengantisipasi sekecil apa pun persoalan. Akhirnya,
seperti kata Buya Syafii, demokrasi selalu perlu stamina dan spiritual yang
prima dari para pendukungnya, tidak boleh patah harapan, sekalipun sungguh
melelahkan.
Karena
itu, kita mesti teguh dan tegap penuh semangat agar republik ini tak oleng dan
tenggelam sehingga yang tampak cuma jari-jari tangan melambai-lambai minta
pertolongan. Bangsa lain sudah berlari dan kita hanya gigit jari.
David
Krisna Alka
Peneliti
Maarif Institute for Culture and Humanity dan Kader Muhammadiyah
http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005448654.aspx?epaper=yes
Comments