Sastra dan Beban Identitas
Esai Kompas, Minggu, 24 November 2013
Oleh: Gus tf Sakai
Kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, telah
mengantarkan kita ke ruang-waktu luwes tak bersekat. Dengan satu kedipan, kita
bisa berpindah atau berada di lain tempat. Dengan satu sentuhan, kita dapat
berada di lain saat, seolah masa bisa mengerut dan melipat. Dalam kondisi
acak-lintas dan tembus-batas seperti itu, sia-sialah usaha untuk menahan atau
mengisolasi sesuatu. Maka begitulah kemudian, di zaman mutakhir ini, sesuatu
dengan sesuatu lain tak bisa dipisahkan. Dan begitu pulalah seni, atau khususnya
sastra, tak bisa dipisahkan untuk tak jadi bagian dari teks-teks lain di luar
sastra.
Sementara itu, seperti kita tahu, teks sastra punya sifat
sangat berbeda—bahkan bertolak belakang—dengan teks-teks di luar sastra. Bila
teks-teks di luar sastra seperti teks sosial, teks ekonomi, teks sains, teks
agama bahkan teks filsafat bekerja dalam kerangka acuan ”menjadi ada”, teks
sastra justru bekerja dalam kerangka acuan ”menjadi tak ada”. Bila teks-teks di
luar sastra ujung-ujungnya selalu merumuskan ”kebenaran”, sebaliknya teks
sastra ujung-ujungnya selalu menghancurkan ”kebenaran”. Sifat teks yang
bertolak belakang ini bisa kita mafhumi karena, tak lain tak bukan, teks-teks
di luar sastra hidup dalam bahasa diskursif, sementara teks sastra menemukan ruhnya
dalam bahasa figuratif.
Melayu
Saya beruntung akhir tahun lalu berkesempatan jadi
kurator Pertemuan Penyair Nusantara VI dan pertengahan tahun ini jadi
pembimbing bengkel penulisan cerpen MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara). Di
dua kesempatan itu, saya bisa melihat dan mengalami cukup jauh bagaimana teks
sastra bertemu dengan teks-teks di luar sastra dalam proses kreatif para
sastrawan Melayu. Sungguh gembira mendapati kenyataan telah begitu luas dan
banyak teks yang bisa menjadi bahan dan, dengan demikian, mestinya jadi bagian
dari teks sastra. Tetapi yang terjadi, dan kegembiraan saya segera berubah
masygul, semua teks lain itu bukan jadi bagian dari teks sastra, melainkan
sebaliknya, teks sastralah yang jadi bagian dari teks-teks di luar sastra. Pada
kondisi ini, masih bisakah teks itu disebut sebagai karya sastra?
Teks-teks di luar sastra ketika masuk ke dalam teks
sastra, sesuai dengan sifat teks sastra yang bekerja dalam kerangka acuan
”menjadi tak ada”, mestinya luruh, lenyap, lesap ke dalam teks sastra. Dan
proses ini bisa terjadi dan berlangsung dengan wajar, menurut hemat saya, hanya
bila sastrawan terlebih dahulu menanggalkan ego, melepas siapa diri, berendah
hati menyerahkan semua hanya kepada dunia dan para karakter yang dihadirkannya.
Di dua kegiatan sastra di atas saya gagal melihat sastrawan melakukan itu,
terutama bila dalam proses penciptaan mereka teks sastra bertemu dengan teks
politik, teks agama, dan teks kultur. Bertemu teks politik mereka menjelma jadi
penghujat, bertemu teks agama mereka menjelma jadi pengkhotbah, dan bertemu
teks kultur, celaka, mereka menjelma jadi jumud.
Dalam fungsi lebih jauh, teks sastra yang bekerja dengan
cara ”menjadi tak ada” itu, tak lain agar karya sastra bisa melintas, menembus
batas, dan berterima bagi pembaca dari latar apa pun. Untuk fungsi ini, karya
sastra tak hanya menghendaki sastrawan berendah hati, melainkan juga harus
mengambil semacam strategi yang setidaknya mensyaratkan dua hal: pertama,
berbicara dengan tanda-tanda yang sama dapat dikenal dan, kedua, tanda-tanda
itu tak pernah tampil dalam sifat menekan. Maka akan sangat aneh bila sastrawan
menciptakan karya dengan perangkat yang hanya mereka sendiri yang kenal.
Apalagi bila perangkat itu hadir dengan dangkal, berupa kulit, ornamentatif. Dalam Pertemuan Penyair Nusantara VI itu, misalnya, saya dijejali kosakata
Melayu yang hadir tanpa alasan, kecuali untuk pamer.
Dalam karya sastra, tentu saja kata-kata (bahasa) adalah
alat utama. Tetapi justru karena merupakan alat utama, dan oleh karenanya
sangat vital, kita harus menempat dan meletakkan perannya dengan tepat. Dan
dalam teks sastra, peran (simbol) bahasa tidak terutama ada pada kosakata,
melainkan pada retorika. Dan kita sebenarnya beruntung, karena retorika bahasa
Melayu adalah retorika tak langsung yang sangat cocok dengan kefiguratifan teks
sastra. Saya ingin membandingkan dengan retorika budaya Romance yang bebas
menyimpang dan mengintroduksi bahan-bahan baru, yang juga cocok dengan teks
sastra. Bagi saya yang tak paham bahasa Perancis, dibanding membaca The Plague,
lebih nikmat membaca novel Albert Camus itu dalam Sampar yang diterjemahkan NH
Dini langsung dari bahasa Perancis La Peste. Ini tentu tak terlepas dari
retorika bahasa Inggris yang lebih bersifat langsung.
Identitas
Semua yang kita bicarakan di atas, langsung atau tidak,
berkaitan dengan identitas. Baik itu identitas teks sastra maupun identitas
(kemelayuan) sastrawan yang melahirkan teks sastra. Maka jadi tampak sekarang,
identitas adalah problematis. Karena teks sastra bekerja dengan cara ”menjadi
tak ada”, ia akan selalu menolak identitas. Dan karena sastrawan saat mencipta
harus berendah hati, identitas akan selalu menjauh. Dan sebenarnyalah, dalam
mencipta, proses kreatif memang bergerak ke dua arah: ke luar dan ke dalam. Ke
luar menolak dan menghancurkan kosmologi mapan, ke dalam menahan, menyingkirkan
hasrat berkuasa yang selalu tumbuh dalam diri. Dan, diri yang dimaksud, tentu
adalah diri dengan segenap latar sosial-kultural.
Dalam zaman acak-lintas dan tembus-batas seperti
digambarkan di awal, kiranya memang, identitas tak lagi bisa dilihat sebagai
identitas. Pada saat sebuah identitas teridentifikasi, pada saat itu pula
sebuah identitas serta-merta berubah. Dalam kondisi seperti itu, dalam kondisi
identitas ternyata hanya semu (tak lebih pseudoidentitas), tidakkah setiap
usaha mengukuhkan identitas hanya akan mengantarkan kita kepada sesuatu yang
juga semu? Dan sebenarnyalah, kesemuan itu sudah berlangsung sejak lama. Dan
akibatnya bisa tak terkira. Lihatlah akibat semunya hal yang mendorong
Alexander Agung menyatukan Mesir dengan dunia timur (India) dan Yunani, pun
konflik horizontal yang terjadi di berbagai negara. Lihatlah akibat semunya hal
yang melatari genocide, pun dua perang dunia. Begitulah sebuah puak mengukuhkan
identitas, berakibat kehancuran bagi puak lainnya.
Kiranya pula, identitas harus dilihat sebagai interaksi.
Suatu kondisi di mana menerima adalah juga memberi. Di tingkat ini, apa pun
perbedaan adalah sinergi. Maka perubahan jadi niscaya. Karena apa pun yang
hidup, untuk bisa tumbuh, memang harus berubah. Dan karena terbukti,
kebudayaan—tempat di mana manusia sendiri diidentifikasi—sejak konsep Taylor
yang evolutif sampai ke konsep Geertz yang relatif, sama menunjukkan sifat
progresif. Lalu, bila begitu, bagaimanakah nasib budaya kita yang asli? Saya
kira, sejak sekarang, kita harus membuang pikiran dalam hidup ini ada yang
asli.
”Pasca-Melayu”
Ketika kesusastraan mutakhir kita sampai ke pencapaian
sekarang, kadang kita lupa melihat ulang bagaimana ia berinteraksi. Di
Indonesia, mungkin kita masih ingat bagaimana teks sastra kita bertemu dengan
balada tahun 50-an, atau sedikit lebih jauh dengan soneta tahun 20-an. Tetapi,
cukup sadarkah kita bahwa di abad ke-13 teks sastra kita juga bertemu dengan
syair dan gurindam. Lalu di masa lebih jauh lagi, abad ke-4, juga bertemu
seloka dan talibun. Di tingkat kesadaran ini, goyahlah keyakinan kita terhadap
asli.
Dalam proses kreatif, selayaknyalah interaksi juga
menggoyahkan kita terhadap pengertian lama dan baru. Tidak ada yang baru,
karena yang ada hanya sejumlah bentuk dari sejumlah gabungan. Tidak ada yang
lama, karena yang ada hanya sejumlah bentuk yang selalu siap untuk bergabung.
Keyakinan terhadap pengertian lama dan baru ini, sama seperti kesemuan
identitas, akibatnya kadang juga tak terkira: bentuk-bentuk teks sastra kita,
dalam pelajaran kesusastraan di sekolah-sekolah, menjelma jadi fosil. Artefak.
Benda mati. Peradaban boleh berhenti, tetapi kebudayaan, produk budaya, adalah
sesuatu yang hidup, terus tumbuh; selalu siap diolah-kembangkan.
Begitulah kebudayaan, karena interaksi, menggoyahkan
keyakinan kita terhadap penggolongan-penggolongan; terhadap kategorisasi. Dan
karena menerima sama dengan memberi, semua berada dalam posisi setara; tak ada
pengertian rendah ataupun tinggi. Di tingkat ini, saya tiba-tiba teringat
Burung-burung Rantau, novel Mangunwijaya. Di novel itu dihadirkan tokoh-tokoh, manusia-manusia
Indonesia, sebagai manusia-manusia ”pasca-Indonesia” yang adalah bagian dari
manusia-manusia dunia. Manusia-manusia yang tak terikat latar, tak terikat
lokasi. Tak lain karena konteks geografis maupun konteks kuntural bermakna
sama: memberi dalam kerendahhatian. Maka mari, sebangun dengan Romo Mangun,
bagaimana bila manusia-manusia Melayu juga kita hadirkan sebagai
manusia-manusia ”pasca-Melayu”?
http://epaper.kompas.com/kompas/books/131124kompas/#/20/
Comments