Ihwal Politik dan Puasa
Kompas, 5 Agusturs 2013
Oleh: David Krisna Alka
Dapat dipastikan bulan Ramadhan 1434 Hijriah ini akan
diramaikan dengan acara memberi bantuan. Menjelang 2014, para politisi dan
partai politik tampaknya menjadi murah hati, baik di pusat maupun di daerah.
Bisa jadi, rakyat menerima ”sedekah politis” itu karena
memang mereka butuh. Sederhananya, rakyat akan menerima saja, soal memilih
politikus atau calon anggota legislatif (caleg) yang memberikan sedekah, itu
soal nanti.
Tentu saja kita berharap, para politikus dan caleg ini
melakukan kebajikan publik yang tulus. Dengan demikian, bulan Ramadhan tidak
menjadi ajang ”kebajikan semu”: sekadar untuk berkampanye dan meraih simpati
dukungan suara saja.
Kebajikan semu akan berdampak pada penderitaan rakyat
karena politisi yang sudah berkuasa kembali menunjukkan wajah aslinya, seperti
yang sudah kita lihat selama ini. Jutaan rakyat Indonesia menjadi miskin akibat
hak-haknya dikorupsi mereka. Kepandaian mereka menyamar kembali mereka
tunjukkan dengan ”kesalehan semu”.
Mereka mengenakan simbol-simbol keagamaan ketika datang
ke pengadilan sebagai terdakwa korupsi. Inilah ”tren” para koruptor yang sudah
bisa dibaca publik. Korupsi adalah dosa publik. Dosa publik lebih berat
diterima tobatnya dibandingkan dengan dosa individual.
Moeslim Abdurrahman pernah berkata, dosa individual
secara langsung adalah masalah kita kepada Allah SWT, Tuhan pemberi ampun. Adapun
dosa publik tidak akan diampuni oleh Allah SWT sebelum kesalahan itu direlakan
oleh masyarakat. Allah SWT memiliki caranya sendiri untuk menghukum dan
mengadili koruptor yang ingin cepat kaya dan menindas rakyat ini.
Makna
Apa makna penting dari puasa di tengah ketidakpercayaan
masyarakat terhadap politikus dan partai politik? Partai politik yang
mengibarkan tinggi-tinggi simbol keagamaan sebagai alat politik semestinya
memiliki komitmen yang tinggi untuk membela kaum tergusur dan tertindas di
dalam masyarakat. Bukan malah memamerkan berahi kekuasaan yang menggelegak dan
etika politik diabaikan. Akibatnya, partai politik di negeri ini kelak mengidap
bias kapitalis yang destruktif.
Azyumardi Azra (2002: 163) menilai, sejarah sebagai
sejarah politik menjadi sasaran kritik. Karena sejarah tentang politik nyaris
merupakan sejarah penguasa yang elitis, sejarah tentang mainstream, atau mereka
yang dipandang sebagai mainstream. Maka, dalam sejarah politik seperti itu tak
ada tempat bagi kaum papa, orang kecil, massa rakyat jelata, apalagi kelompok
atau gerakan yang dipandang yang berada di luar mainstream. Kaum duafa atau
masyarakat miskin dianggap sebagai people without history.
Orientasi politik bukan soal kekuasaan semata. Hendaknya
politik menjadi elemen integratif bagi bangsa sehingga mampu menyinergikan
kekuatan masyarakat dalam wadah demokrasi keindonesiaan yang memihak kaum
tertindas dan terpinggirkan. Bukan malah politik jadi ajang obral janji yang
bertujuan untuk kepentingan elite politik saja.
Semua agama mengajak pengikutnya menghadapi soal politik
dengan disertai moral etika dan akhlak. Semua nilai dalam hubungan sesama
manusia, seperti persaudaraan, persamaan, saling menghormati, kejujuran, dan
keadilan, mesti disertakan dalam berpolitik. Nilai-nilai itu bukan hanya
sebagai jargon dalam kampanye semata. Bukankah esensi capaian dalam berpolitik
itu sama dengan ketika berpuasa di bulan Ramadhan, meraih kemuliaan.
Ramadhan bulan kebajikan. Kebajikan untuk pribadi dan
kebajikan bagi publik. Sebab, puasa yang dijalankan di bulan Ramadhan
semestinya tak berhenti pada wilayah kesalehan pribadi (cultus privatus), tetapi juga berlanjut pada kesalehan publik (cultus publicus), yang memberi dampak
meningkatkan kualitas penghayatan individu terhadap nilai-nilai kebajikan
bersama, sesama umat manusia.
Semoga di bulan Ramadhan 1434 H kita dapat menuai hikmah
dengan semakin meningkatnya kesadaran publik untuk kebajikan republik, terutama
dalam menghadapi Pemilu 2014 nanti, di mana ketegangan politik kian meninggi.
Akhirnya, hikmah puasa bagi politikus, berharap mereka
menjadi lebih tahu diri karena mereka berasal dari rakyat, bagi rakyat, dan
untuk rakyat. Bukan untuk ”dilaknat” rakyat.
DAVID KRISNA ALKA
Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity, Alumnus
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
© 2013, PT. Kompas Media Nusantara.
Comments