Pemimpin bukan Datang dari Surga
"PERSOALANNYA, kita ini sesudah Soekarno tidak punya pemimpin,” kata Pramoedya Ananta Toer.
Agaknya,
benarlah apa yang pernah dikatakan Pramoedya Ananta Toer, kita seolah kesulitan
mencari orang yang dapat memimpin negara ini secara bermartabat dan memiliki
integritas yang mantap. Sebab, pencarian pemimpin seolah tampak dilakukan
dengan cara semaunya oleh elite politik dan elite kapital saja.
Tengok,
bermacam cara partai politik mencari-cari calon pemimpin untuk dicalonkan
sebagai presiden dalam Pemilu 2014 nanti. Mereka memilah, mengolah, dan memilih
para kandidat presiden yang akan bertarung: ada partai politik yang sudah
mewacanakan konvensi, ada yang sudah percaya diri mengajukan ketua umum
partainya sebagai calon presiden, dan ada pula yang masih ‘meraba-raba’ kian
kemari.
Munculnya
situasi mencari-cari pemimpin seperti itu, seolah tak ada lagi elite yang dapat
dipercaya mampu memimpin negara. Kaderisasi pemimpin bangsa dari partai politik
berjalan lesu lantaran partai dikuasai segelintir elite atau seorang penguasa
saja. Apa maunya pemimpin tertinggi partai harus dituruti jajaran pengurusnya,
tak hanya di pusat, tapi juga di daerah.
Di tengah
kegetiran itu, dikhawatirkan pencarian pemimpin (presiden) dilakukan secara
transaksional. Pertanyaannya, bagaimana nasib demokrasi di Indonesia jika
pemilahan dan pemilihan pemimpin di negeri ini dilakukan dalam pola
transaksional?
Memang,
menurut Maurice Duverger, dalam The Study of Politics yang diterjemahkan Daniel
Dhakidae (2005:160), dalam arena politik, perjuang an individu adalah untuk
mencapai posisi utama (struggle for preeminence) dan ini berlaku sebagai basis
teori-teori tentang elite: dari persaingan merebut kekuasaan muncullah yang
terbaik, yang paling mampu,dan mereka yang mampu memerintah. Tentu, dalam
konteks Indonesia, pengajuan kandidat presiden dengan syarat, yaitu partai atau
gabungan partai berhasil memiliki 20% dalam Pemilu 2014.
Perkembangan
demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia terkesan lebih kuat diwarnai
saling hujat. Demokrasi dicerna dengan sikap yang tak substansial dengan
menghabisi partai politik atau politisi yang ketiban sial. Akhir nya, pilihan
politik rakyat yang telah memilih pemimpinnya diliputi rasa sesal.
Namun,
kita semua harus mengakui dengan terus terang dan jujur, terkadang kita lupa
melihat fi gur calon pemimpin yang kini sering tampil melalui survei dan media,
di antaranya pernah lalai dan abai terhadap tanggung jawab kemanusiaan yang
pernah diperbuat. Bukankah Milan Kudera pernah berkata, perjuangan seseorang
melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa, melawan apa yang kita
tahu dan apa yang kita tak tahu. Karena itu, kita tak melulu berharap secara
semu bahwa kelak suatu masa di Indonesia memiliki pemimpin yang integritasnya
luar biasa.
Pencarian
sosok pemimpin yang diharapkan tentu tak akan menemukan titik akhir. Ia bisa
saja sudah hadir, tapi masih enggan untuk tampil di publik. Atau ia tak akan
pernah ada, hingga tiba masanya rakyat sadar bahwa kita su bahwa kita su dah
tak memiliki pemimpin yang dapat mengubah bangsa ini menjadi lebih beradab dan
berdaulat. Bila benar begitu, Indonesia menjadi bangsa yang penuh dengan
`seolah-olah': setumpukan delusi...semuanya kelihatan keliru, seperti gigi
palsu yang lebih putih daripada gigi asli... delusi di atas delusi (Parakitri T
Simbolon, 2000:2).
Digadang-gadang
Mahbub
Djunaidi (1973) dalam kolom di sebuah majalah yang penulis unduh dari
pojokmahbubdjunaidi.blogspot.com pernah menulis, pada 1966 orang hampir
bersepakat tak memerlukan lagi tipe kepemimpinan solidarity-maker, yang
melompat dari podium ke podium, bagaikan awan tergantung di atas lautan massa.
Sudah bukan zamannya lagi. Dia mungkin objektif benar untuk masanya, tapi tidak
untuk seluruh masa. Yang diperlukan tipe `administrator', seperti Kennedy atau
si tua Adenauer. Maka muncullah tipe kepemimpinan edisi baru, model mutakhir,
produk cemerlang sanjungan demonstran.
Sekarang,
yang tadinya baru itu sudah dianggap tidak baru lagi. Perlu yang lebih baru.
Segala berkembang secara dialektis. Administrator itu baik, tapi urusan manusia
sudah telanjur ruwet, mustahil bisa dipahami hanya dengan memperlakukan mereka
bagaikan bundel-bundel dan angka-angka. Teknokrat, si dewa-dewa modern, itu
baik, tetapi membangun pabrik tidak sesulit melakukan komunikasi sosial.
Heterogen menuntut rasa cermat. Mak lum, bukan sekadar isi kepala yang berbeda,
melainkan juga warna rambut dan panjangpendeknya yang tumbuh di kulit kepala.
Walhasil,
pemimpin yang dicari bukan pemimpin yang diada-adakan atau mengada-ngada
ditemukan. Masyarakat mesti cermat dalam memilih kandidat presiden pada Pemilu
2014 nanti. Almarhum Mahbub Djunaidi tepat, Indonesia yang majemuk ini perlu
memiliki pemimpin yang menuntut rasa cermat. Sebab, penghuni negara ini bukan
sekadar isi kepala yang berbeda, melainkan juga warna rambut dan
panjangpendeknya yang tumbuh di kulit kepala.
Karena
itu, selain kepemimpinan baru dengan kategori ideal yang ramai didiskusikan,
pemimpin yang berkhidmat terhadap kebhinekaan juga penting. Artinya,
kepemimpinan yang kita cari adalah pemimpin yang membumi dan sosok yang memimpin
rakyatnya dengan sepenuh hati dan penuh empati.
Dalam
pemilihan Presiden 2014 nanti, diharapkan rakyat jangan sampai salah pilih.
Rakyat mesti jeli memilah dan memilih figur-figur yang digadang-gadang bakal
menjadi presiden di negeri ini. Soalnya, kita bukan menanti seorang presiden
yang datang dari `surga'. Ya, sudahlah...
Media Indonesia, Rabu, 31 Juli 2013
Media Indonesia, Rabu, 31 Juli 2013
Oleh: David Krisna Alka
Peneliti Populis Institute dan Maarif Institute for Culture and
Humanity
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/index.aspx#
Comments