Mencolek Bakal Caleg
Media
Indonesia, 3 Juli 2013
Oleh:
David Krisna Alka
BUKAN
hanya mesin partai yang mampu menjadikan sebuah partai politik (parpol) dapat
memenangi pertarungan pada Pemilu Legislatif 2014 nanti. Integritas dan
kualitas bakal calon anggota badan legislatif (caleg) turut menjadi kunci untuk
memenangkan suara parpol. Bagi bakal caleg, sistem pemilu dengan keterpilihan
berdasarkan suara terbanyak menjadi tantangan. Apalagi, antarkader partai pun
akan bertarung merebut suara.
Belum
lagi, fenomena akhir-akhir ini, potret buruk perilaku sebagian politikus kian
tidak mengundang simpati. Bila tidak ada perubahan dan gebrakan bakal caleg
yang dapat meraih simpati publik, niscaya masyarakat akan ragu atau tidak mau
memilih. Karena, sedari awal, publik melihat seolah parpol menjadi arena tawar-menawar
antara penjual dan pembeli, jual-beli suara dan posisi.
Bermacam
orang dengan latar belakang diri dan profesi mendaftar menjadi bakal caleg.
Padahal, menjadi bakal caleg atau menjadi politikus itu bukan cuma asal menjadi
saja. Ketika disebut sebagai politikus, orang tersebut adalah orang yang
berkecimpung dalam bidang politik, ahli politik, dan ahli kenegaraan. Artinya,
berpolitik bukan sembarang berkecimpung, melainkan mesti mengerti soal
seluk-beluk kenegaraan.
Selain
itu, siasat bakal caleg dalam merebut simpati publik bukan untuk kepentingan
pribadi, kelompok atau golongan. Namun, bersiasat untuk memenangkan suara
rakyat, kesejahteraan rakyat, dan keadilan rakyat sesuai dengan mekanisme
konstitusional. Oleh sebab itu, bakal caleg tidak amnesia terhadap kebajikan
politik. Sebab diperlukan kesungguhan aksi nyata bakal caleg untuk kebaikan
publik. Soalnya, siklus politik republik ini sudah letih selalu dicibir dan
dicaci.
Dalam
pandangan David E Apter (1987:20), para politikus adalah wiraswasta dalam pasar
politik. Mereka memancarkan kalkulator yang sangat cepat dalam menghitung
untung-rugi dan menang-kalah. Untuk memenangi suatu kekuasaan, seorang
politikus yang sukses harus mampu menangani masalah-masalah yang rumit.
Selain
itu, dia juga harus mampu memecahkan persoalan dalam situasi-situasi yang sulit
dengan akal sehat yang mantap. Hal terpenting dalam langkahnya adalah tidak
menambah kesengsaraan rakyat dan menjadikan kebaikan publik sebagai pilar utama
dalam berpolitik.
Alhasil,
calon-calon politikus mesti bekerja keras untuk mengembalikan kepercayaan
masyarakat terhadap politisi dan parpol. Politisi perlu bersiasat dengan cantik
untuk mendapatkan simpati publik. Selain itu, politisi yang akan berlaga
menjadi calon legislatif butuh mental politik tahan banting, apalagi politisi
yang tak memiliki ongkos politik.
Barangkali,
seorang politikus butuh ‘tongkat ajaib’ supaya masyarakat benarbenar percaya
bahwa politisi adalah penyambung suara rakyat. ‘Tongkat ajaib’ itu adalah
tonggak-tonggak kebaikan politik dan tonggak kebajikan publik yang dapat
memengaruhi alam pikir masyarakat tentang pentingnya berpolitik dan menyalurkan
hak suaranya. Bila tidak ada kebaikan dan kebajikan politik, putuslah rantai
kebajikan antara politisi dan partainya, antara rakyat dan wakilnya, dan antara
pemerintahan dan warganya.
Di
samping itu, bagi politisi yang menganggap politik sekadar menjadi tumpukan
kekecewaan, politisi itu dapat dipastikan bukan politisi harapan masa depan
politik di negeri ini. Sejatinya, politikus mesti memiliki rasa kemanusiaan
yang lapang, bukan cuma rasa ingin cepat dapat jabatan atau menjadi politisi
yang pendendam gara-gara `dagangan' tidak laris di pasaran.
Daniel
Dhakidae (1978) pernah mengutarakan bahwa perselisihan di dalam politik adalah
perselisihan dengan perhitungan, diatur oleh konstitusi, hukum, otoritas, dan
kekuasaan. Orang memilih cara dan saluran yang tepat untuk mencapai tujuannya.
Bila pranata politiknya berjalan, perselisihan merupakan ventilasi yang sehat,
orang bermain dalam perselisihan. Namanya permainan politik, berjalan menurut
mekanisme konstitusional.
Akhirnya,
politik tak sekadar siasat unjuk kekuatan menjual dan membeli. Berpolitik
memerlukan arkeologi emosional, spiritual, dan intelektual. Bukan menjadi
politikus atau menjadi bakal caleg sembarang. Namun, menjadi politikus yang
autentik berikhtiar untuk kepentingan publik yang mencintai bangsa dan
mencintai keadilan. Demikian, sekadar opini untuk ‘mencolek’ bakal caleg yang
akan bertarung dalam Pemilu 2014. Selamat berjuang!
David
Krisna Alka Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity dan anggota PP
Pemuda Muhammadiyah
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/index.aspx#
Comments