Lisan dan Laku Politikus Era Reformasi

Sinar Harapan, Rabu, 22 Mei 2013
Oleh: David Krisna Alka

Lima belas tahun reformasi telah berjalan di titian demokrasi republik ini. Sudah 15 tahun reformasi tapi dalam berbagai media tampak lebih banyak ketidakjelasan lisan dan etika politik para politikus. Kerancuan lisan dan laku politik hadir secara cepat di ruang publik. Politik yang tidak santun tersebar dan sangat mudah diserap oleh generasi politik bangsa kelak.

Di negeri ini, hampir setiap hari hadir bermacam bentuk informasi yang lucu, aneh, sedih, dan geli. Ingatan kolektif, pengetahuan, informasi, atau perbendaharaan kultural cenderung dilakukan secara lisan, baik secara langsung maupun tak langsung. Sulit dibantah tradisi lisan ini terus mengalir dari generasi ke generasi.

Taufik Abdullah (2001) menjelaskan, masyarakat Indonesia mengalami lompatan dalam tradisi lisan, dari tradisi budaya lokal menjadi corak baru tradisi lisan (new kind of orality), di mana sumber informasinya lebih bersifat audio-visual. Tawaran corak baru tradisi lisan itu disuguhkan oleh media informasi elektronik, terutama televisi.

Etika Politik
Memang, revolusi informasi menjalar dalam kehidupan manusia. Berita tentang siapa dan apa langsung bisa dicerna. Informasi baik dan buruk, penting atau tidak penting, dengan mudah masuk ke ruang kerja hingga di dalam kamar tidur, begitu pula berita tentang laku politikus. Informasi-informasi itu terkadang mengembara terbawa ke alam mimpi.

Memang, kritik tidak seharusnya menjadi upaya untuk menjelekkan, menyerang, apalagi menjatuhkan lawan politik. Pesan moral politik ini barang kali terlupa atau disengaja oleh sebagian elite politik di negeri ini. Dalam wacana etika politik ada adagium ethics has no place in politics. Pertanyaannya, seburuk itukah dunia politik sehingga tak ada ruang etika di dalamnya?

Etika politik yang baik arahnya adalah untuk memajukan kepentingan umum. Jika ada lisan dan laku politikus yang buruk, berarti secara sosial, terlepas dari konteks kultur politikus itu berada, berarti sudah meresahkan nilai-nilai moral masyarakat secara umum, bahwa lisan dan laku yang tak patut itu tidak boleh hadir dalam
ruang publik.

Apabila publik disuguhi lisan politikus yang kacau logikanya dan tidak konsisten antara kata dan laku, secara tak langsung Mochtar Lubis benar. Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki (1977), Mochtar Lubis menyebutkan ciri manusia Indonesia itu munafik atau hipokrit. Suka berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan ciri utama manusia Indonesia sejak lama, sejak dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya ataupun yang sebenarnya kehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.

Kata-kata yang menjadi janji lenyap ditelan kekacauan logika dan keburukan etika pelaku politik sehingga ketidakadilan menyeruak dengan cara membangun kelas-kelas sosial yang didasarkan atas asal daerah, kekayaan, status, dan keistimewaan lainnya. Bukankah negeri ini didirikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan keadilam sosial bagi seluruh warga negaranya?

Mencari
Sejatinya, etika politik menjunjung tinggi penghormatan terhadap kemanusiaan dan keadilan. Menurut Buya Syafii Maarif (2010), demokrasi yang sudah mulai menguat dalam kehidupan politik Tanah Air seharusnya dijaga oleh semua elemen sosial, dan terdapat etika politik di dalamnya. Kultur demokrasi yang minus etika dapat melahirkan kekonyolan demokrasi. Ini karena jika demokrasi dibangun tanpa etika politik, akan menjadi demokrasi yang kacau.

Jika telah rusak etika publik pelaku politik di negara ini akan membuat masa depan politik negeri tertatih menuju demokrasi yang berkeadaban. Bahkan, sampai saat ini kita masih mencari atau mencari-cari politikus yang berjiwa negarawan.

Kita masih mencari-cari pemimpin untuk menyelesaikan agenda reformasi yang diraih dari tangis dan darah yang tumpah di atas tanah pertiwi. Ya, kita masih mencari arah terbaik untuk membangkitkan martabat republik ini. Wallahu’alam.

David Krisna Alka, Penulis adalah peneliti pada Populis Institute dan Ma’arif Institute for Culture and Humanity

Comments

Popular posts from this blog

Pergolakan Partai Politik dan Kualitas Demokrasi Kita

Fatmawati Srikandi Republik

"Politik" Waktu; Selamat Tahun Baru