"Api" Muhammadiyah
David
Krisna Alka – detikNews, Senin, 19/11/2012
Jakarta - Walau hujan deras dan angin bertiup kencang, perhelatan milad satu abad berdirinya Muhammadiyah kemarin (18/11) di Gelora Bung Karno tak menyurutkan semangat warga Muhammadiyah datang memenuhi stadion. Merekalah arus bawah Muhammadiyah yang berbondong-bondong datang, menjadi basis dan ruh gerakan hingga Muhammadiyah masih ada dan tumbuh-berkembang sampai sekarang.
Jakarta - Walau hujan deras dan angin bertiup kencang, perhelatan milad satu abad berdirinya Muhammadiyah kemarin (18/11) di Gelora Bung Karno tak menyurutkan semangat warga Muhammadiyah datang memenuhi stadion. Merekalah arus bawah Muhammadiyah yang berbondong-bondong datang, menjadi basis dan ruh gerakan hingga Muhammadiyah masih ada dan tumbuh-berkembang sampai sekarang.
Satu
abad Muhammadiyah telah menggerakkan sejarah cukup besar di Republik Indonesia.
Tak ada yang dapat menyangkal kebesaran organisasi keagamaan Muhammadiyah dari
segala penjuru bidang yang digelutinya. Tokoh-tokoh bangsa pun cukup banyak
lahir dari “rahim’ Muhammadiyah. Namun pertanyaannya, bagaimana arus bawah
dalam “tubuh” Muhammadiyah?
Persoalannya,
di tengah ruang informasi politik, sosial, dan budaya menjalar cepat, kekaburan
informasi tentang persoalan bangsa, di mana Muhammadiyah menjadi bagian penting
di dalamnya, perlu diperhatikan secara seksama oleh arus atas maupun arus bawah
Muhammadiyah.
Informasi
baik dan buruk dengan mudah masuk begitu cepat. Hampir setiap hari hadir
bermacam bentuk informasi yang lucu, aneh, sedih, dan geli. Segenap warga
Muhammadiyah mesti pandai memilah informasi apa yang perlu dikritisi dan
ditanggapi. Sehingga Api Muhammadiyah, yakni arus bawah, tidak gamang dalam
melangkah.
Arus
bawah Muhammadiyah memiliki imajinasi tentang Muhammadiyah ke depan, memiliki
keyakinan dan kepercayaan diri. Mereka, arus bawah Muhammadiyah, memiliki
harapan yang cukup tinggi di pundak arus atas kepemimpinan kolektif organisasi
keagamaan Muhammadiyah.
Tak
ayal, perhatian terhadap ruang publik, mau tak mau mesti lebih maju. Sebab, di
sanalah arus bawah Muhammadiyah menikmatinya dan benar-benar merasakan
Muhammadiyah ada dalam sanubari mereka, mencerahkan bangsa.
Api Politik
Hari
ini, demokrasi kita disuguhi informasi lisan dan laku politisi dan pejabat yang
kacau, tidak konsisten antara kata dan laku. Buya Syafii Maarif (2010) pernah
berkata, demokrasi yang sudah mulai menguat dalam kehidupan politik tanah air
seharusnya dijaga oleh semua elemen sosial, dan terdapat etika politik di
dalamnya. Kultur demokrasi yang minus etika dapat melahirkan kekonyolan
demokrasi. Sebab, jika demokrasi dibangun tanpa etika politik, akan menjadi
demokrasi yang kacau.
Di
sinilah peran penting lainnya yang perlu dilakukan Muhammadiyah, mengembangkan
kultur politik yang berjalin berkelindan dengan etika publik. Etika politik
yang baik arahnya adalah untuk memajukan kepentingan umum, memajukan
nilai-nilai moral yang beradab dalam masyarakat.
Ketakberadaban
politik yang merusak etika publik, membuat masa depan politik negeri ini
menjadi tertatih menuju demokrasi yang berkeadaban. Satjipto Rahardjo (2009)
pernah berpesan perlunya moralitas tinggi dipunyai oleh politisi berjiwa
negarawan yang akan membuat dirinya tetap terhormat, yaitu kritik yang jujur,
rasional, tanpa sentimen dan tanpa sikap emosional kepada lawan politik.
Salah
satu pertanyaan penting berkaitan dengan perkembangan politik dewasa ini ialah.
apakah Muhammadiyah dapal dijadikan sebagai identitas kolektif dalam rangka
gerakan demokrasi yang berkeadaban dan berkemajuan?
Hanya
waktu dapat menjawabnya. Namun, memang sulit dielak adanya arus politik
Muhammadiyah yang berserak di berbagai partai politik. Mereka memiliki semangat
gerakan perubahan untuk mencerahkan bangsa.
Sinergi
arus bawah, arus atas, dan arus politik warga Muhammadiyah perlu didorong
sehingga kelak menjadi “api Muhammadiyah” dan “api bangsa” yang menggelora.
Kelak mereka dapat menjadi ikon yang membanggakan untuk pemberdayaan sosial,
budaya, ekonomi dan polilik rakyat yang sangat dibutuhkan. Sehingga “Api
Muhammadiyah” itu tak kunjung padam walau hujan deras dan angin kencang
menghadang. Wallahualam.
*)
David Krisna Alka, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity dan
Aktivis Menara 62 (asy/asy)
Comments