Bertanya-tanya tentang Pemimpin
Kompas, 31 Oktober 2012
Oleh: David
Krisna Alka
"Kita
tak perlu tepuk dan sorak kalau kita tak sanggup berjuang,” kata Bung Hatta.
Ya, kita tak ingin pemimpin yang tak sanggup berjuang, yang melulu berpijak
pada teriak dan slogan, bukan pada kenyataan!
Barangkali
hanya Indonesia, negara yang sudah puluhan tahun merdeka, tetapi masih
bertanya-tanya pemimpin macam apa yang kita perlukan. Sebab, selama ini belum
ada ”tangan-tangan” keadilan dari kepemimpinan yang mewujudkan kemakmuran
rakyat di Tanah Air yang berlimpah kekayaan ini.
Indonesia
dihadapkan pada kenyataan lemahnya basis-basis kepemimpinan dan tiadanya
kepemimpinan yang berjuang setelah menang dalam perebutan kekuasaan. Lebih
banyak pemimpin yang berjuang saat berebut kekuasaan. Lantas apa yang membuat
kita gelisah dan bertanya-tanya mengenai seperti apa pemimpin di republik ini?
Basis
Kepemimpinan
Hampir
setiap hari ada saja berita tentang kebobrokan basis-basis kepemimpinan.
Kerusakan mental bangsa lebih banyak diinisiasi oleh elite pemegang kewenangan/kekuasaan
yang hulunya adalah partai politik, tempat bersemainya kepemimpinan politik.
Tim
Litbang Kompas (24 Juli 2012) mencatat, tahun ini jumlah kepala daerah
(bupati/wali kota/gubernur) yang tersangkut korupsi sebanyak 213 orang. Dari
jumlah total 495 kepala daerah, berarti sekitar 43 persen kepala daerah
bermasalah dengan kasus-kasus korupsi. Para kepala daerah itu jauh dari harapan
tipikal pemimpin modern yang seharusnya bersih dari korupsi, berintegritas,
populis, dan bekerja sepenuh hati untuk rakyat.
Itulah
bukti corong-corong kepemimpinan di parpol lemah, bahkan mengalami kerusakan.
Akibatnya, seperti keluhan Haji Agus Salim (1931), rakyat seolah diperbuat
seperti kayu mati, yang dirundingkan bagaimana caranya harus dikerat, dipotong,
dibelah, diketam, diketuk, dibentuk. Untuk keperluan siapa?
Memang,
tipe masyarakat Indonesia masih sangat terpengaruh oleh para pemimpin.
Kepemimpinan merupakan ”jiwa politik” yang melekat dalam dinamika politik di
Tanah Air. Kepemimpinan politik yang tegas, kuat, dan merakyat menjadi harapan
perbaikan negara.
Seorang
pemimpin pasti diperlukan. Namun, Jakob Oetama (2003) mempertanyakan, pemimpin
macam apa yang semakin mendesak dibutuhkan ketika orang menengok ke kiri dan ke
kanan tak pula merasa menemukan sosok yang sepadan dengan tantangan zaman.
Kepemimpinan
politik yang diperlukan adalah pemimpin bangsa yang berkepribadian,
berkarakter, bervisi, berkomitmen, dan menjadi suri teladan bagi bawahan dan
rakyatnya. Untuk menghadapi perubahan zaman seperti sekarang, kita perlu
pemimpin politik yang mampu menyelenggarakan kekuasaan secara beradab,
menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, yang tidak menyalahgunakan
kekuasaan, wewenang, kesempatan, dan koneksi.
Di
samping itu, rakyat jangan dikondisikan membeo kepada pemimpin yang tak
beradab, yang dijadikan obyek tipu-daya dan pembodohan diam-diam demi
kepentingan kekuasaan. Tentang hal ini, Mestika Zed (2003) mengutip pernyataan
Bung Hatta. ”Negara yang rakyatnya hanya tahu menerima perintah dan tidak pernah
turut memperhatikan atau mengatur pemerintahan negerinya, (berarti) tidak
memiliki kemauan dan tidak melakukan kemauan itu dengan rasa tanggung jawab
penuh.”
Jika
demikian, rakyat tidak akan pernah insaf akan harga diri dan kedaulatannya
sehingga ia mudah tunduk ke bawah kekuasaan apa dan siapa saja, rakyat akan
tetap tertindas oleh orang yang berkuasa.
Artinya,
tugas pemimpin pertama-tama ialah mendidik rakyat, bukan memperalat rakyat.
Memimpin berarti menyelami perasaan dan pikiran rakyat serta memberikan
inspirasi agar rakyat bisa keluar dari kesulitan yang membebaninya.
Namun,
kini kita tak punya lagi waktu untuk berandai-andai dan berkhayal menginginkan
kembali sosok dwitunggal: Soekarno-Hatta. Ahmad Syafii Maarif pernah
mengatakan, baiknya peradaban suatu bangsa akan dihasilkan oleh pemimpin yang
berperadaban tinggi. Sebaliknya, buruknya peradaban bangsa akan dihasilkan oleh
pemimpin yang berperadaban buruk.
Suluh
Moral
Sejatinya,
karakter pemimpin lahir dari partai politik. Karena melalui partai politik akan
didistribusikan kader-kader terbaik bangsa untuk menempati jabatan publik di
lembaga-lembaga negara.
Kaderisasi
pemimpin politik erat kaitannya dengan kesinambungan kepemimpinan bangsa. Dalam
kaitan ini, membangkitkan dan melaksanakan nilai-nilai Pancasila sebagai suluh
moral dalam pengaderan menjadi penting. Jangan sampai setiap pemimpin yang
hadir selalu dituduh sebagai pengkhianat Pancasila.
Menetas
pemimpin masa depan Indonesia perlu ”mengerami” calon-calon pemimpin dengan
baik. Dengan begitu diharapkan muncul pemimpin yang mau, mampu, dan berani
berjuang mengubah karut-marut kepemimpinan dari desa sampai istana. Begitulah
kira-kira.... ●
http://cetak.kompas.com/read/2012/10/31/02212080/.bertanya-tanya.tentang.pemimpin
Comments