Solitude Lebaran *1

Aku membayangkan sudah berada di rumah. Tatkala Jakarta masih tak lagi ramah untuk disebut sebagai kota warga.

Aku membayangkan sudah berada di rumah. Setelah orang-orang berpuluh jam menuju kampung halaman, aku sudah tiba duluan. Jauhnya perjalanan mereka terhapus dengan semangat rindu tempat kenangan menginjak kampung halaman.

Aku membayangkan sudah berada di rumah. Tiba pada waktu malam. Sebentar aku terdiam di depan halaman. Melihat pintu rumah tertutup rapat. Aku membayangkan emak dan ayah masih di masjid sedang i’tikaf.

Aku membayangkan sudah berada di rumah. Mencium tangan emak dan ayah. Memeluk mereka yang sudah tua. Aku menahan air mata.  Menangis di dalam jiwa. Merasa bersalah, belum membuat mereka bahagia.

Aku membayangkan sudah di rumah.  Menjabat erat kakakku Ina Kirana. Raut wajahnya yang juga menua. Sudah lama ia berjuang sendiri karena suaminya masih sakit tak berdaya. 

Aku membayangkan sudah berada di rumah. Pagi hari kami sekeluarga, delapan kakakku dan belasan ponakan pergi menunaikan hari kemenangan sembahyang di lapangan. Aku membayangkan emak dan ayah senyum bahagia, semua berkumpul dengan ceria.

Aku membayangkan sudah berada di rumah. Bermain dan bercanda dengan keponakanku yang lucu, cantik, dan gagah seperti pamannya. Aku membayangkan emak dan ayah senang bukan kepalang bercengkerama bersama anak-anak dan cucu-cucunya.

Aku membayangkan sudah berada di rumah. Seperti biasa, ayah mengajakku untuk mendengarkan kisah hidupnya. Selalu kisah yang sama. Diantara foto dan lukisan keluarga Bung Karno dan foto keluarga yang bersandar di dinding ruang tamu, ayah berkisah. Kisah heroiknya dulu sebagai penjaga moral pejabat daerah. Yang tak takut berhadapan dengan pejabat siapa saja kalau mereka salah. Sebab mereka dulunya ada yang pernah menjadi murid-muridnya, kata ayah.  Tentunya ayah juga berkeluh kesah tentang keadaannya. Walau sudah tua masih ingin tetap bekerja. Dan aku pasti memberikan jawaban yang sama, sebaiknya ayah istirahat dan beribadah saja.

Aku membayangkan sudah berada di rumah. Emak adalah ibu rumah tangga yang tangguh dan bersahaja. Seperti biasa,
emak pasti bertanya.

“Endak emak masak apo untuak makan hariko, nak”. 

Emak dan ayah yang kucinta. Aku belum menentukan hari apa akan datang ke rumah. Merasa manja tak mau berjuang ke rumah dengan menaiki bus yang menghabiskan waktu berpuluh jam tiba. Aku pun masih terasuk pertimbangan logika kapital menaiki pesawat yang harganya sudah lebih sejuta. Sungguh, aku tak ingin melewatkan dan merindukan kebersamaan fitrah diantara kita semua. Bersambung...

Jakarta, Persada 15 Agustus 2012

Comments

Popular posts from this blog

Pergolakan Partai Politik dan Kualitas Demokrasi Kita

"Politik" Waktu; Selamat Tahun Baru

Fatmawati Srikandi Republik