Perempuan Politik dan Politisi
David
Krisna Alka
Dalam
konteks sejarah perjuangan perempuan di tanah air, RA Kartini menjadi ikon yang
diperingati setiap tahun di negeri ini. Namun, hendaknya itu bukan sekadar
momen karikatif bagi perjalanan perjuangan politik perempuan. Di tengah riuh
suara politik lelaki yang mengisi ruang politik, semestinya kekuatan politik
perempuan mampu lebih unjuk peduli dalam memerjuangkan ribuan, bahkan jutaan
perempuan yang kelam masa depan.
Kompas, 4 Mei 2012
Kesadaran
politik perempuan semestinya sinergi dengan gerakan sosial dalam berjuang
membela nasib orang-orang yang tertindas akibat didera himpitan ekonomi negeri
yang penuh ketidakpastian.
Lihatlah
di republik ini: 5,3 juta perempuan di atas usia 15 tahun masih buta aksara
karena sulitnya mengakses pendidikan. Jutaan perempuan pun rentan dengan
penyakit yang identik dengan kemiskinan. Kasus-kasus semacam TBC, gizi buruk,
malaria, disentri dan kematian ibu saat melahirkan masih sangat tinggi. Contoh
teladan politisi perempuan di negeri ini sangat diperlukan.
Dalam
politik memang tidak mengenal jenis kelamin. Namun, wacana politik Indonesia
melulu didominasi pria. Aktor politik perempuan seringkali berada dalam posisi
yang sulit untuk berjuang menegakkan derajat hak politiknya. Aktor politik perempuan
acapkali di tepi dan mereka berjuang tanpa embel-embel keturunan sebagai ratu
dari sebuah dinasti elite politik.
Di
sisi lain, kultur maskulin tubuh partai politik menghambat gerakan kemajuan
politik perempuan. Di sinilah tantangan bagi politisi perempuan untuk lebih
meningkatkan kapasitas, kualitas, dan tentu moralitas. Mereka harus menolak
terhadap rayuan dan godaan sebagai mediator para koruptor.
Hampir
setiap partai sudah melakukan berbagai upaya meningkatkan peran perempuan dalam
politik dan kapasitas kader perempuannya. Kelahiran regulasi untuk memperkuat
keterwakilan perempuan di parlemen melalui UU Nomor 2/2011 tentang Parpol.
Dalam UU itu secara eksplisit diwajibkan ada 30% perempuan dalam struktur
pengurus harian parpol.
Dalam
Pasal 55 ayat 2 UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu, ada penegasan bahwa di antara
tiga nama dalam daftar caleg harus ada minimal satu caleg perempuan. Namun,
kuota 30% untuk perempuan itu seakan sia-sia, aktor politik perempuan acapkali
tersumbat oleh kultur politik yang maskulin, primordial, dan elitis. Maka
timbul pertanyaan, apa guna perempuan berpolitik?
Rahim politik
Ketua
Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri memang telah mengukir sejarah panggung
politik Indonesia. Meskipun mewarisi nama besar Bung Karno, tetapi tak salah
untuk diapresiasi. Megawati adalah perempuan pertama yang pernah menjadi
presiden di republik ini.
Ong
Hok Ham (2002:212) pernah bercerita mengenai catatan simpatik kepemimpinan
perempuan di Asia. Di Vietnam, Truong bersaudari dianggap sebagai pahlawan
nasional dan cikal-bakal nasionalisme Vietnam. Selain itu, Menteri Luar Negeri
Vietcong juga seorang perempuan. Vietnam sangat berkebudayaan Konfusianis dan
memfokuskan diri pada peran lelaki, tetapi mereka melihat perempuan sebagai
unsur propaganda terbaik bagi aspirasi revolusioner.
Kultur
politik itu adalah hasil reproduksi dan rekonstruksi. Dalam hal ini, pesona
kreatif (perempuan) memiliki kekuatan transformatif dan transendensi yang mampu
merubah kultur. Seperti yang kita ketahui, terdapat beberapa kelompok yang
mampu mengubah masyarakat dan bangsa, yaitu pimpinan kharismatik, politisi dan
tokoh intelektual.
Oleh
karena itu, perubahan yang dilakukan oleh kekuatan politik perempuan maupun
kelompok elite politik perempuan, memiliki kemungkinan yang tinggi untuk
diterima masyarakat luas. Harapannya, perubahan yang dilakukan oleh kekuatan
politik perempuan memiliki kemungkinan yang tinggi untuk diterima secara lebih
bermakna oleh masyarakat politik.
Sepasang sayap burung
Persepsi
tentang lelaki dan perempuan memang mempunyai kekuatan substansial dalam
perubahan perilaku. Namun, perempuan mempunyai kekuatan dalam menggerakkan dan
mendorong kekuatan-kekuatan nyata yang ada dalam masyarakat. Bung Karno pernah
mengungkapkan perumpamaan bahwa pria dan wanita adalah sepasang sayap burung.
Kedua sayap itu berjalan tak timpang dan dapat terbang dengan lancar.
Clara
Zetkin (1857-1933), pencetus Hari Perempuan Sedunia pernah mengatakan,
mesin-mesin yang merupakan alat produksi modern perlahan-lahan mematikan
produksi domestik dan membuat ribuan perempuan bertanya, “Di manakah kita akan
mencari makan sekarang?”
David
Krisna Alka
Aktivis
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah dan Peneliti Maarif Institute for
Culture and Humanity
Comments