Jalan Terjal Politik Kemajemukan
Tabloid Prioritas Edisi IV Tahun 1|
06 - 12 Februari 2012
Kekerasan berlatar agama,
bahkan se-agama, terjadi lagi di repu blik yang konon menjunjung tinggi
kemajemukan dan prinsip Bhineka Tunggal Ika. Mazhab Islam Syiah di Sampang,
Madura, diserbu dan pesantrennya dibakar. Sejumlah bangunan dan rumah penduduk
juga ikut dirusak. Orang-orang terluka, nyawa milik Sang Maha Pencipta diobral
murah.
Kemajemukan di negara ini
belum terawat. Kondisi ini mendestruksi keutuhan sosial masyarakat Indonesia
yang plural. Sudah sejak lahir Indonesia hadir dengan fitrah kebhinekaannya.
Kemajemukan menjadi fondasi
kokoh bagi terciptanya demokrasi. Sebagai negara bangsa dengan sekitar 1076
kelompok etnis, pemeluk semua agama besar, dan mendiami 300 dari 17.500 pulau
di seluruh nusantara, Indonesia perlu sistem demokrasi yang mengakomodasi
kepentingan politik semua unsur masyarakat.
Proklamasi kemerdekaan yang
disemangati Sumpah Pemuda 1928, merupakan proses terbentuknya bangsa dalam
wadah negara, Indonesia, tanpa unsur paksaan. Entitas bangsa dan negara ini
hadir karena kemajemukan. Tak ada Indonesia bila hanya ke-ika-an, ketunggalan,
dan monokulturalisme.
Masalahnya, menurut almarhum
Parsudi Suparlan (2004), di era otonomi daerah, siapa yang sepenuhnya berhak
atas sumber daya alam, fisik, dan sosial budaya, juga diberlakukan pemerintahan
lokal, yang administrasi dan politiknya dikuasai dan didominasi putra daerah
atau suku bangsa asli setempat.
Ini berlaku di tingkat
provinsi maupun kabupaten berikut wilayah administrasinya. Ketentuan otonomi
daerah ini menghasilkan golongan dominan dan minoritas yang bertingkat- tingkat
sesuai kesukubangsaan yang bersangkutan.
Artinya, penguatan persatuan
tidak bisa dilakukan hanya lewat buaian kalimat indah dalam pidato politik.
Karena, masih ada bibit pertentangan antara sistem nasional dengan masyarakat
suku bangsa dan konflik di antara suku bangsa dan keyakinan agama yang berbeda.
Politik Kemajemukan
Sistem pemerintahan yang
kuat dan efektif bakal mendorong aktivitasnya lebih responsif, didukung
berbagai kekuatan politik dan masyarakat, sekaligus menopang berlangsungnya
aktivitas yang stabil berjangka panjang. Namun, kekuatiran muncul bila
pandangan agama dan primordialisme menyangkut etnis dan kedaerahan masih kuat.
Rapuhnya basis
sosio-kultural menyebabkan negeri ini tercabik dalam budaya gado-gado tanpa
identitas. Diperlukan penguatan sistem pemerintahan dalam konteks
ketatanegaraan yang mampu menyalurkan aspirasi politik dari berbagai cleavages
(kemajemukan agama, etnisitas, daerah, dan kelas sosial).
Pemahaman terhadap segala
persoalan yang menggerogoti basis sosio-kultural ini menentukan bagaimana sikap
dan tindakan yang harus diambil untuk mengantisipasinya. Ketidakpastian
memunculkan gesekan, bahkan konflik antar kelompok sosial.
Sebagai basis
multikulkturalisme Asia Tenggara, Indonesia dikategorikan Azyumardi Azra (2009)
sebagai, pertama, multikulturalisme akomodatif. Maksudnya, kita terdiri dari
kultur dominan, baik dalam konteks budaya, politik, etinis, dan agama. Kendati
begitu, kebutuhan kultural kaum minoritas mudah disesuaikan dan diakomodasi.
Kedua, multikulturalisme
kritikal atau interaktif. Artinya, masyarakat kita tidak terlalu concern dengan
kehidupan kultural otonom; tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif
yang mencerminkan dan menegaskan perspektif distingtif mereka.
Selain itu, terjadi pula
proses cukup intens antara kultur dominan dengan kultur lain, yang memunculkan
supra-culture— sederhananya diistilahkan sebagai “kultur Indonesia”. Setelah
melewati kedua fase ini, multikulturalisme demokratis menjadi penting.
Kemajemukan Indonesia yang
masih belum kokoh semestinya segera diperkuat. Tentu kita tidak berharap negeri
ini luluh lantak, seperti harapan Ahmad Syafii Maarif agar Indonesia bertahan
sampai sehari sebelum kiamat, kendati “Jika Indonesia bisa bertahan sampai 100
tahun, itu mukjizat!”
Indonesia mesti punya
identitas budaya genuine dan tak mudah terkoyak. Sistem demokrasi karenanya
harus mengakar pada corak budaya dan nilai-nilai kemajemukan.
Mencari solusi kekerasan dan
konflik atas nama agama barangkali dapat dimulai dengan menyebarkan pemahaman
bahwa kehidupan dunia tak pernah bisa dikuasai dan dimiliki seseorang atau
segolongan saja. Karena itu, diperlukan komitmen bersama untuk merawat
kemajemukan Indonesia. []
•David Krisna Alka Peneliti
Maarif Institute for Culture and Humanity dan Populis Institute Jakarta
Comments