Tradisi Bijak Kayutanam
Agus Hernawan*
Kompas, Sabtu, 9 Februari 2008
BEBERAPA waktu lalu,
setiap kali berjalan di depan kantor Dinas Pendidikan Kota Padang, saya paling
senang memelototi baliho, yang menurut saya menarik. Menarik karena—ternyata
tidak hanya terdapat di Kota Padang, tetapi juga di kota-kota lain— berpotensi menjerumuskan,
menyesatkan, dan menjadi kebohongan.
Baliho itu memuat
gambar sepasang peserta didik, disertai keterangan tentang sekolah menengah
kejuruan (SMK) di bawahnya. Kedua peserta didik itu berdiri di pangkal jenjang,
tengadah menatap ke ujung jenjang, ke sebuah pintu yang terbuka lebar. Di balik
pintu itu terhampar pemandangan sebuah kota dengan gedung-gedung bertingkat dan
mobil-mobil berkilat.
Kepada mereka, baliho
itu menyuguhkan ”kesan” bahwa bersekolah di SMK adalah pilihan paling tepat
untuk menuju masa depan yang terang-benderang. Tentu tak ada yang salah dari
persuasi atau pesan ini. Persoalannya, sejauh mana ”pesan” ini dapat diterima
secara faktual dan kontekstual? Atau jangan-jangan ia hanya ilusi.
Sebab, beranjak dari
fakta, baik sebelum maupun sesudah krisis ekonomi 1998, SMK tergolong sebagai
investasi sumber daya manusia yang mahal, sekaligus gagal. Sekolah-sekolah
kejuruan menyumbang jumlah penganggur yang tak kalah besar dari sekolah
menengah umum.
Belajar dari INS
Kayutanam
Ruang Pendidik
Indonesisch Nederland School (INS) Kayutanam berdiri 31 Oktober 1926. Sekolah
ini kadang dipelesetkan menjadi ”Intelek, Nasional, dan Semangat”. Ada pula
yang menyebut secara berkelakar INS kependekan dari ”Ingat Nasib Sendiri”,
sebelum akhirnya dikenal sebagai akronim dari Institut Nasional Syafei.
Sekolah ini berawal
dari rumah penduduk yang disewa, dengan jumlah murid 79 orang. Ruang Pendidik
INS Kayutanam kemudian tumbuh menjadi salah satu sekolah Bumiputera terkemuka
dengan fasilitas terlengkap untuk ukuran masa sebelum perang.
Hanya dalam waktu 13
tahun, pada tahun 1939, Ruang Pendidik INS Kayutanam telah menempati areal
seluas 18 hektar, dengan fasilitas ruang kelas, bengkel kerja, dua asrama, dan
tiga perumahan guru. Ada pula ruang makan dengan dapur kolektif, satu taman
bacaan, poliklinik, gedung pertunjukan berikut lapangan sepak bola, atletik,
tenis, ruang senam, dan kolam renang. Belum lagi pertokoan, koperasi, dan
restoran. Adapun jumlah murid mencapai 500 orang yang berasal dari seluruh
Indonesia.
Apa yang membuat
Ruang Pendidik INS Kayutanam tumbuh menjadi sekolah Bumiputera terkemuka dengan
fasilitas terlengkap pada masanya?
Apakah karena INS
Kayutanam tergolong sekolah yang mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial
Belanda? Jawabnya, jelas tidak. Malah sebaliknya, INS Kayutanam menolak segala
bentuk subsidi. Ia dapat dikategorikan sebagai sekolah Bumiputera pertama dan
salah satu sekolah modern tertua di dunia yang menerapkan—apa yang dalam lima
tahun terakhir baru ramai dibincangkan di Indonesia—community-based education.
Dalam salah satu
tulisannya, ”Kedudukan Perguruan di Tengah Masyarakat, Sekolah Dasar Sendi
Nusa”, Engku Sjafei, pendiri Ruang Pendidik INS Kayutanam, menyatakan, ”…Antara
masyarakat dan perguruan selayaknya mesti ada hubungan yang erat dan kerja sama
yang sebaik-baiknya guna kebahagiaan nusa, bangsa, dan kemanusiaan”.
Untuk itu, Engku
Sjafei bukan hanya menolak segala bantuan pemerintah kolonial, tetapi juga
tawaran dana dari kas Kepala Nagari Se-Sumatera Barat atau subsidi dari seorang
pejabat pemerintah kolonial.
Sebaliknya, beliau
dan ayahandanya, Marah Sutan, memilih bermitra dengan organisasi buruh kereta
api (VBPSS) yang berpusat di Padang. Juga dukungan dari perantau Minangkabau
yang tergabung dalam ”Medan Perdamaian” di Jakarta. Selebihnya adalah ikhtiar
sendiri, mulai dari honorarium guru, buku-buku Engku Sjafei, sampai pada
penggalangan dana melalui aktivitas siswa, seperti pertunjukan sandiwara,
penjualan hasil-hasil kerajinan mereka, maupun melalui pertandingan sepak bola
(Navis, 1996).
Apa yang hendak
dituju Engku Sjafei melalui sikap ”keras” dan tegasnya itu? Jawabannya tidak
lain ialah kemandirian.
Engku Sjafei tidak
mengajarkan kemandirian melalui teori atau ceramah, tetapi lewat contoh nyata.
Kemandirian ini juga yang menjadi alasan mengapa INS Kayutanam di masa Engku
Sjafei memilih menjadi sekolah nondiploma. ”Diplomamu,” ujar Engku Sjafei kepada
murid-muridnya, ”adalah kemampuanmu berdiri sendiri dalam masyarakat, tanpa
menggantungkan diri dan hidupmu pada lowongan-lowongan yang terdapat di
kantor-kantor pemerintah kolonial.”
Agaknya, selain
faktor sifat nasionalis dan sistem pendidikan yang memosisikan murid sebagai
subyek dengan metode ajar-mengajar yang mengasah bakat, sikap aktif-kreatif,
etos kerja, dan kurikulum yang memadukan antara pengetahuan umum dan
keterampilan; penempaan sikap kemandirian di kalangan murid menjadi alasan
pesatnya perkembangan Ruang Pendidik INS Kayutanam, khususnya pada masa Engku
Sjafei. Para murid berdatangan dari seluruh Indonesia dengan kesadaran penuh
untuk mencari dan menuntut pengetahuan dan keterampilan, bukan mencari selembar
diploma atau ijazah.
Kepada murid-muridnya
di setiap kesempatan selalu Engku Sjafei mengingatkan, ”Menjadi tuan kecil
lebih berharga daripada menjadi budak besar.”
Kembali ke persoalan
SMK, tampaknya SMK terus mencetak calon-calon ”kuli” bagi sektor ekonomi formal
perkotaan. Murid dan orangtua murid diberi mimpi bekerja di kota, di
gedung-gedung bertingkat, bisa memiliki rumah mewah dan mobil berkilat. Mereka
menjadi korban dari ilusi yang memabukkan.
* Agus Hernawan,
Penyair, Bergiat dalam Roda for Education and Culture
Sumber: Kompas,
Sabtu, 9 Februari 2008
Comments