Politik Manja Ala Politisi Muda
Rabu, 21/09/2011 08:38 WIB
Kolom David Krisna Alka - detikNews
Jakarta - Tubuh partai politik seolah hilang
ruang keberadabannya. Terdengar nada sumbang tentang kader-kader partai politik
bertransaksi praktik rente. Ironis, kuman pragmatisme sudah melekat dalam tubuh
beberapa politisi muda di negeri ini.
Ruang politik di negeri ini terinfeksi virus
pragmatis yang akut. Sangat mungkin, sebuah partai politik yang ideal malah
diabaikan oleh para pemilih. Sebab lebih banyak dinilai dari seberapa banyak
uang dikucurkan, seberapa besar anggaran transportasi peserta kampanye, dan
seberapa besar harga satu suara dan seterusnya. Jadinya, kaum muda dihadapkan
antara perjuangan politik untuk membela keadilan dan kebenaran atau perjuangan
meraih keuangan dan kekuasaan.
Memang, tak ada jaminan bahwa sebuah partai
politik dengan sistem pengkaderan yang bagus, program partai yang populis,
pendidikan politik yang mantap akan berhasil memenangkan pemilihan umum.
Namanya juga ruang politik, sebuah ruang kemungkinan dan ketakpastian.
Pertanyaannya, apakah benar pandangan banyak
orang yang mengatakan bahwa politik itu memang kotor? Mereka melihat etika
politik tampak kropos dan bebal, terutama dalam tubuh partai politik. Ekspresi
politik yang dijamin demokrasi dijadikan legitimasi terhadap political
behaviour yang kotor.
Tersandera
Kerja politik adalah berjuang untuk memberi
manfaat kepada rakyat menjadi lebih beradab. Kini, semangat koruptif tampak
menguasai denyut hati para politisi, terutama politisi muda. Tentu, akhirnya
tanggungjawab kerakyatan menjadi terpisah dari kepentingan rakyat.
Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat,
Nazaruddin, salah satu diantara sekian tokoh muda dan kader partai politik yang
terjerat kasus pengkhianatan amanat rakyat. Tampak, walaupun akhirnya
tertangkap, Nazaruddin tidak memiliki keberanian menghadapi segala masalah yang
menimpanya. Ia seolah tak seperti layaknya anak muda yang berani, gagah, dan kuat
menghadapi segala masalah.
Sejatinya, generasi penerus republik tak turut
'mabuk' dalam ekstase permainan politik yang bebal. Jika politik bebal yang
dimainkan, membuktikan kebenaran pernyataan Bung Hatta, "Abad besar telah
datang, tapi kita menemukan generasi yang kerdil!".
Di luar arena politik, terlihat individualitas
kaum muda memisahkan diri dari urusan pribadi untuk terlibat dalam perkara politik.
Bias alamiah mereka menyerahkan perkara publik hanya kepada negara
mengakibatkan mereka kurang berminat pada perkara publik dan politik, bahkan
tak punya waktu untuk mengikutinya.
Alexis De Tocqueville (2005:381) menilai bahwa
kehidupan pribadi kelompok kaum muda itu masuk dalam periode demokratis yang
begitu sibuk, begitu bergairah, begitu penuh harapan dan kerja, sehingga nyaris
tak tersisa energi ataupun waktu senggang untuk kehidupan publik, apalagi
politik. Di sisi lain, kaum muda yang skeptis beranggapan bahwa elite politik
mengalami kesadaran yang tak otentik dalam mengatasi persoalan kesejahteraan
rakyat. Elite politik seperti pembujuk (persuader) yang mementingkan diri
sendiri dan golongannya.
Taufik Abdullah (2000) melihat ketakaburan para
elite (the hubris of the elite) di Indonesia hanyalah berputar sekitar para
elite politik, sedangkan masyarakat luas berada di luar proses politik. Selain
itu, para pemimpin rupanya sudah tak punya tempat lagi dalam percaturan politik
di tanah air kita. Elite politik seakan beranggapan bahwa dunia ini telah
berada di tangan mereka.
Politisi muda semestinya menjaga relasi etis
antara partai politik dan rakyat. Seperti kata Mochtar Lubis (1974:15) bahwa
moralitas kaum muda harus tak seperti orang yang pandai mencuri dengan tangan
kiri sedangkan tangan kanan menulis 'jangan engkau mencuri'. Sehingga, motif
yang melatari belakangi kaum muda untuk terjun dalam dunia politik bukan
semangat mengiba dan bukan politik manja sehingga menjadi 'parasit dan penculik'
terhadap partai politik yang diikutinya.
*) David Krisna Alka adalah analis
Sosial-Politik Populis Institute dan Peneliti Maarif Institute for Culture and
Humanity, Jakarta.
Comments