Kedaulatan Rakyat atau Kedaulatan Parpol?

David Krisna Alka
Terbitan  Referensi

 “Rakyat adalah jantung hati bangsa. Rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat kita. Dengan rakyat itu kita akan naik dan dengan rakyat kita akan turun. Hidup atau matinya Indonesia merdeka, semuanya bergantung kepada semangat rakyat, kalau di belakangnya ada rakyat yang sadar dan insaf akan kedaulatan dirinya.” (Bung Hatta)

Harapan adalah sarapan yang baik tetapi makan malam yang buruk.  Namun, harapan bahwa partai-partai politik di negeri ini mampu menjadi agen perubahan politik untuk mengartikulasikan kedaulatan dan keresahan-keresahan rakyat, masih berupa sarapan yang belum baik, dan merupakan hidangan makan malam yang buruk.

Ada kerinduan akan masa ketika parpol (parpol) diolah secara berkualitas dan bernilai. Karena parpol mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Akan tetapi, sistem demokrasi di negeri ini masih belum memihak pada demokrasi sosial. Suatu pemihakan politik yang menjunjung tinggi cita-cita keadilan dan harapan kesejahteraan.

Parpol Gagap

Parpol adalah alat bagi publik untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Tetapi, demokrasi multipartai yang kembali dijalankan belum mampu menghadirkan budaya politik alternatif yang solutif. Sementara tampilnya sejumlah partai baru, parpol pecahan, parpol lama tapi nama baru, pun belum begitu bisa mengambil hati perhatian publik. Akibatnya, ruang publik masih belum berfungsi secara beradab.


Pandangan sinis acapkali terdengan keluar dari mulut nan manis bahwa parpol itu tak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan birahi kekuasaannya sendiri. Parpol hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu ‘at the expense of the general will’ atau kepentingan umum.

Munculnya beraneka ragam parpol baru terkesan hanya terdengar di telinga tapi tidak terasa di hati. Demokrasi parpol hanya bunyinya saja yang nyaring tapi gagap dalam pemikiran dan gagasan baru yang orisinal dan berkarakter kuat untuk mengatasi permasalahan bangsa. Tampak, proses politik sangat terpisah antara yang dipikirkan partai dan politikusnya dengan masalah objektif dalam kehidupan nyata rakyat biasa.

Membaca jajak pendapat Litbang Kompas, sejak reformasi kepartaian diluncurkan pada tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang membuat menjamurnya parpol (181 parpol), masyarakat pemilih tampaknya masih terus-menerus dirundung janji dan harapan kosong. Jajak pendapat Kompas yang mengikuti kiprah parpol sejak awal masa reformasi mendapati kekecewaan publik yang senantiasa berulang terhadap kiprah parpol. Lebih separuh responden pada jajak pendapat Februari 2000 menyatakan ketidakpuasan terhadap kinerja partai yang dipilihnya pada Pemilu 1999. Rata-rata kekecewaan terhadap berbagai fungsi kepartaian mencapai 51-65 persen (kecuali terhadap PKB yang hanya 37,5 persen). Kekecewaan itu kian tinggi dua tahun kemudian. Lebih tiga perempat responden menyatakan kecewa dengan kinerja parpol meskipun saat itu (Maret 2002) sudah ada 164 parpol yang disahkan untuk bertarung dalam Pemilu 2004. 

Disamping itu, meski pada awal Pemilu 2004 nada kepuasan dan optimisme pada partai disuarakan lebih dari separuh responden (55-63 persen), namun penilaian itu sudah meruntuh. Lebih tiga perempat responden menyatakan tidak puas dengan kinerja parpol yang ada. Kekecewaan dan skeptisme publik yang terekam sama besar kondisinya dengan opini tahun 2005 dan awal tahun 2006. Jika dilihat dari citra parpol, bahkan nyaris belum pernah ada perbaikan signifikan terhadap kiprah parpol. Jika pada bulan Agustus 2004 hanya 45,3 persen yang menilai buruk, tahun 2007 penilaian buruk disuarakan 60,8 persen responden.

Banyak pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap parpol baru bahkan juga terhadap parpol lama. Karena sulit untuk menemukan perbedaan yang signifikan antara partai lama dan partai yang mengklaim dirinya sebagai partai baru. Bila bicara soal program parpol, hampir semua partai lama maupun baru bicara tentang pengentasan kemiskinan, tentang penyediaan lapangan pekerjaan, tentang pendidikan gratis, soal perbaikan fasilitas pendidikan, bicara tentang jaminan kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan lain sebagainya.

Jika dilihat dari tokoh atau pengurus partai, yang tampak dalam kenyataan, tokoh atau pengurus partai baru merupakan wajah-wajah lama dalam dunia politik tanah air. Namun, memang kemunculan partai-partai baru memberikan peluang lebih besar atas partisipasi masyarakat dalam politik ketika dominasi orang-orang tua dalam parpol lama begitu dominan.  Tetapi, jangan dulu terlalu berharap dengan kemunculan partai-partai baru dapat memperbaiki keadaan negeri ini.

Belum lama ini, hasil jajak pendapat Kompas, 26-27 Mei 2010, memperlihatkan gambaran ketidakpuasan masih disuarakan dalam berbagai fungsi politik partai, seperti representasi, fungsi sosialisasi politik, mobilisasi, partisipasi, legitimasi, dan aktivitas politik. Upaya parpol menjalankan fungsi representasi termasuk yang paling lemah diapresiasi publik (68,9 persen) ketimbang fungsi-fungsi lainnya. Ketidakpuasan responden terhadap parpol dapat pula dilihat dari penilaian mereka terhadap kiprah parpol dalam melakukan pendidikan politik dan kaderisasi terhadap warga negara. Minimnya aktivitas partai dalam memberikan pendidikan politik secara lugas membuat rakyat tidak paham logika politik dan ”muara”-nya. Mereka menjadi tidak berani menyuarakan aspirasinya secara konkret atau dalam tindakan nyata.

Padahal, seharusnya partai sepantasnya berupaya menggalang warga negara untuk lebih aktif dalam kegiatan-kegiatan politik, seperti memilih pemimpin, membangkitkan kesadaran berpolitik, penggalangan dana, dan kegiatan politik lainnya. Menurut Wicipto Setiadi (2010), pelembagaan partai biasanya dilakukan melalui penguatan empat komponen kunci, yakni pengakaran (party rooting), legitimasi partai (party legitimacy), aturan dan regulasi (rule and regulation), dan daya saing partai (competitiveness). Becermin pada keempat komponen kunci di atas, tampaknya lampu kuning masih menyala bagi keberadaan parpol saat ini. Apabila secara kelembagaan parpol tidak mulai berbenah untuk memperbaiki diri menjadi sebuah partai yang modern: punya basis massa yang loyal, organisasi yang rapi, mempunyai mekanisme memilih pemimpin yang demokratis, dan punya daya saing yang tinggi.

Nyalanya lampu kuning bagi keberadaan parpol saat ini menimbulkan kesan sangat dalam terasa dalam hati nurani rakyat bahwa parpol sekadar menjadi alat negosiasi dengan penguasa untuk mencapai kompensasi politik ketimbang benar-benar memperjuangkan aspirasi konstituen. Padahal, fungsi mendasar sebuah parpol sebagai pilar demokrasi adalah sarana artikulasi, agregasi dan sarana pendidikan politik yang sehat bagi masyarakat.

Sistem politik ketatanegaraan Indonesia mengandalkan peran parpol. Namun, tampaknya parpol belum banyak beranjak dari fungsi praktis jangka pendek sebagai alat meraih kekuasaan. Parpol menggunakan konstituen untuk kepentingan jangka pendek, dimana parpol memakai konstituen sebagai pendulang suara dalam Pemilu, alat legitimasi dan alat mobilisasi. Tatkala instrumen partai membutuhkan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Konstituen diposisikan sebagai sub-ordinat untuk memenuhi keinginan dan kepentingan politik partai.

Maka dari itu, parpol harus berusaha membangun hubungan dengan konstituen yang stabil dan berjangka panjang. Agar hubungan dengan konstituen dapat didirikan dan dikelola dengan baik, parpol harus mengembangkan pemahaman ideologi dan nilai-nilai dasar partai dan membangun (infra-) struktur partai dulu.

Demokrasi Karnaval

Instrumen demokrasi salahsatunya ditentukan oleh parpol, seperti dikatakan oleh Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”. Karena itu, partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties”.

Partai politik bertindak sebagai perantara dalam proses-proses pengambulan keputusan bernegara. Menghubungkan antara warga negara dengan institusi-institusi kenegaraan. Robert Michels dalam bukunya, “Political Parties, A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy”, “... organisasi ... merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik untuk membentuk kemauan kolektif.” Tetapi, politisi partai gagal memperkuat pondasi kehidupan politik kenegaraan sehingga menyulitkan mengoperasikan demokrasi secara maksimal

Maraknya aksi-aksi negatif semacam praktik politik uang membuktikan bahwa demokrasi ala Indonesia kini sudah dibajak oleh kekuatan uang. Memang, demokrasi dari segi biayanya mahal. Karena mahal, maka tentu rakyat sebagai warga negara akan semakin kehilangan sumber daya politiknya ketika berhadapan dengan kekuatan politik uang.

Dalam perebutan kekuasaan yang mengatasnamakan demokrasi, hampir semua dibelakangnya bukanlah pertarungan untuk memperebutkan cita-cita politik. Tapi tampak dipahami sebagai persaingan kepentingan ekonomi kapital. Semua gagasan dan cita-cita ideologis apapun tampak telah digeser oleh pertimbangan kapital (capitalo-parliamentarisme: pekerjaan dan keberadaannya didikte kapital).

Sehingga, yang terjadi di negeri ini adalah gejala seperti layaknya seorang saudagar sedang memperebutkan posisi politik sebagai penguatan simbol hegemoni elit yang sangat menonjol. Demokrasi mencari dan menggalang kekuatan untuk mencapai konsensus politik. Bukan sekadar demokrasi yang mengandalkan kebebasan, yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Pada pengalaman Pemilu 2009, Daniel Dhakidae mempertanyakan apakah parpol sudah melepaskan akar-akarnya: ideologi, identitas, dan independensi. Sehingga, mitos tentang parpol besar sudah hancur. Semua konsep tentang parpol besar dan kecil telah runtuh. Semua yang besar terguncang-guncang. Besar dan kecil menjadi nisbih. Ditambah dengan tingkat kesetiaan yang rendah pemilih terhadap parpol baru tanpa beban dan ideologi. Pemilu sekadar hanya perhelatan, dolanan, tanpa berkeyakinan bahwa pemilu untuk mempertahankan nasib bangsa dalam menyongsong masa depan. Hubungan yang terjalin tampak bukan hubungan ideologis tapi hubungan transaksional.

Demokrasi tidak sesederhana sebagai prosedural dan bukan sekadar jadwal kegaitan karnaval-karnaval politik Nasional semata. Demokrasi adalah alat politik untuk menjunjung dan melaksanakan cita-cita kolektif tentang keadilan sosial, sebab inti yang paling inti dalam cita-cita demokrasi adalah agar terjadi representasi yang seluas-luasnya dalam mengambil keputusan. Maka, perlunya mencari nilai kehidupan, a social imaginary, tentang horizon makna yang menjadi rujukan kebebasan dan kesetaraan dalam prinsip demokrasi modern. 

Jika membaca sejarah demokrasi negeri ini, sosok Bung Hatta dinilai sebagai salah seorang peletak dasar utama negara demokrasi konstitusional yang modern, baik dalam tataran nilai-nilai maupun praktek pelembagaannya. Tapi kini, apa yang diletakkan Bung Hatta terhadap demokrasi yang kita perjuangkan, kenyatan yang muncul dalam proses politik adalah kuatnyaa supremasi partai-partai dengan kultur kapitalnya, bukankah kedaulatan politik di tangan rakyat yang nasibnya semakin miskin, termasuk miskin politik dalam era reformasi sekarang ini.

Namun, kehidupan politik negeri ini masih memiliki harapan. Harapan yang bukan hanya sarapan dan makan malam. Harapan itu adalah menempatkan rakyat sebagai yang utama karena rakyatlah yang mempunyai kedaulatan. Menurut Bertrand Russell, kemiskinan dalam demokrasi lebih baik daripada apa yang disebut kemakmuran di bawah tirani, persis seperti kita memilih kebebasan daripada perbudakan. Hanya daulat rakyat yang mampu mengantarkan perubahan dan kemajuan, bukan daulat parpol

Oleh karena itu, demokrasi untuk perubahan dan demokrasi untuk kemajuan adalah niscaya segera dilakukan. Walau, perubahan adalah suatu hal, kemajuan adalah hal lain lagi. Perubahan bersifat ilmiah, kemajuan bersifat etis. Perubahan adalah suatu hal yang niscaya, sedangkan kemajuan selalu bisa diperdebatkan.***

Referensi
[1] Toto Suryaningtyas, “Geliat Parpol Disikapi Dingin,” http://www.kompas.com/kompas-cetak/0607/31/Politikhukum/2843118.htm
[2] Anung Wendyartaka, “Saatnya Titik Balik Parpol,” Kompas,  31 Mei 2010
[3] Lihat buku karya Schattscneider, E.E., Party Government (New York: Farrar and Rinehart, Inc. 1942)
[4] Robert Michels, Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi, (Jakarta: Rajawali, 1984) hal.23.
[5] Danil Dhakidae, Parpol,  Partai Politik, Demokrasi dan Oligarki (Jakarta: Penerbit Kompas, 2004).
[6] Moeslim Abdurrahman, Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan, (Yogyakarta: Impulse dan Kanisius, 2009) h.41.
[7] Bertrand Russell, Sceptical Essays and Unpopular Essays, (London: George Allen & Unwin Ltd, 1984)

Comments

Popular posts from this blog

Pergolakan Partai Politik dan Kualitas Demokrasi Kita

"Politik" Waktu; Selamat Tahun Baru

Fatmawati Srikandi Republik