Ihwal Kota dan Puasa
Kompas, 21 Agustus 2009
Sesungguhnya, bulan Ramadhan mencerminkan persamaan. Siapa pun yang beriman, kaya atau miskin, harus berpuasa. Memang, tampak tak adil jika kaum miskin harus berpuasa karena tiap hari mereka sering berpuasa. Selain itu, dalam berpuasa, ada perbedaan asupan antara orang kaya dan miskin.
David Krisna Alka
Jakarta adalah salah satu kota yang menjadi ruang
representasi identitas antara orang kaya dan miskin.
Lauren Bain mengutip Mike Davis dalam Space and Symbols
(1990) merisaukan perencanaan pembangunan kota yang menggunakan strategi
spasial untuk memisahkan, memencilkan, dan mengasingkan ”yang lain”.
Posisi Jakarta sebagai ibu kota negara menjadi pusat
perdagangan, hiburan, kemewahan, dan pemiskinan. Ironisnya, ketamakan dan
penyingkiran terhadap kaum miskin justru terjadi di Jakarta. Kota Jakarta
menebar aroma gaya hidup yang tak kenal kaya- miskin. Namun, dikotomi
kaya-miskin justru kian melebar.
Ramadhan di Jakarta
Bagi kaum miskin kota, Ramadhan merupakan bulan rebutan
dana. Di Jakarta, bulan puasa diramaikan pengemis dan banyak ”rumah gerobak”,
menunggu sapaan sahur dari mereka yang peduli dan kaya. Ketika buka puasa,
mereka ke masjid melepas dahaga dan lapar.
Fenomena lain adalah pekerja yang gajinya tak seberapa.
Bagi mereka, bulan Ramadhan adalah bulan menghemat karena tak ada pengeluaran
untuk makan siang dan hampir di tiap
masjid ditemukan jatah buka puasa. Bagi kaum pekerja, mereka menggunakan
angkutan umum yang penuh sesak, gerah, dan melawan dahaga di tengah kemacetan.
Namun, bagi pejabat dan orang kaya, Ramadhan sepertinya
tiada rasa. Naik mobil, berbuka di restoran atau hotel bersama kolega dan
keluarga. Bagi sebagian pejabat negara, buka puasa digelar di rumah dinas milik
negara.
Bulan Ramadhan menjadi ruang refleksi dan kritik sosial
di tengah masih banyaknya umat yang papa, kaum muda yang menganggur, dan
anak-anak yang telantar. Di saat suara juru dakwah terdengar di mana-mana
selama Ramadhan, seharusnya tak ada lagi orang lapar yang tak diperhatikan dan
terabaikan. Sebab, bulan Ramadhan menjadi manifestasi internalisasi nilai-nilai
ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari. Ramadhan menjadi pengejawantahan ajaran
Islam sejati, yakni solidaritas sosial.
Kelompok duafa
Di antara keserakahan di kota seperti Jakarta, bulan
Ramadhan seharusnya tidak menjadi ruang hampa bagi kelompok duafa. Ramadhan
mestinya menjadi bulan pemaknaan sosial ayat-ayat Tuhan dengan realitas. Bulan
Ramadhan menjadi pemotretan atas kenyataan umat yang masih banyak menderita
kemiskinan.
Sesungguhnya, bulan Ramadhan mencerminkan persamaan. Siapa pun yang beriman, kaya atau miskin, harus berpuasa. Memang, tampak tak adil jika kaum miskin harus berpuasa karena tiap hari mereka sering berpuasa. Selain itu, dalam berpuasa, ada perbedaan asupan antara orang kaya dan miskin.
Bulan Ramadhan juga mengingatkan bahwa keadilan harus
ditegakkan. Bagi yang mampu melaksanakan dianjurkan untuk berpuasa. Bagi yang
berhalangan ada dispensasi dan menggantinya setelah Ramadhan berakhir. Esensi
tujuan puasa itu pengendalian diri. Orang yang berpuasa menggambarkan keadaan
sebagai orang yang meneladani Tuhan yang mencapai tingkat takwa. Orang itu
teguh dalam keyakinan tetapi bijaksana, tekun dalam menuntut ilmu, kian berilmu
kian merendah, semakin berkuasa bertambah bijaksana.
Orang yang berpuasa senantiasa berbagi kepada yang
miskin, tidak boros meski kaya, murah hati dan ringan tangan, tak menghina, tak
mengejek, tak menghabiskan waktu dalam permainan. Dan, saat menjalani roda
kehidupan tidak membawa fitnah serta terpelihara identitasnya sehingga tidak
menuntut yang bukan haknya dan tak menahan hak orang lain.
Puasa bukan hanya perintah agama yang bersifat personal,
tetapi amal yang bersifat spiritual dan sosial. Namun, sebagai ibadah, puasa
pada bulan Ramadhan tak hanya terkait hubungan personal seorang hamba dengan
Tuhan, tetapi juga keterikatan dengan manusia lain. Tugas manusia adalah
melaksanakan tindakan iman (act of faith), yaitu menciptakan keadilan yang
terkait sosial kemanusiaan.
Moeslim Abdurrahman dalam Suara Tuhan Suara Pemerdekaan
(2009) mengatakan, makna Islam yang paling murni bukan terletak pada rumusan
teologisnya, tetapi dalam pergulatan hidup sehari-hari umatnya untuk menegakkan
keadilan. Islam adalah ajaran roh kemanusiaan sejati yang menuntun perubahan,
terutama dalam pemerdekaan terhadap kaum papa.
Kita semua berharap, semoga bulan Ramadhan menjadi
tindakan iman dalam mengurangi ketimpangan sosial, terutama di Kota Jakarta,
sehingga kelak proses alienasi yang menyingkirkan kaum miskin secara sosial dan
ekonomi tak lagi terjadi. Tak ada guna kita membanggakan penggunaan
simbol-simbol kesalehan bila masih banyak umat yang miskin dan lapar.
Comments