Muhammadiyah dan Kaum Miskin Kota
Kompas,
02 Juli 2006
David
Krisna Alka
Dakwah Islam yang membebaskan
dan mencerahkan bagi kaum mustadhāfin, yang sering disuarakan aktivis
Muhammadiyah, sedang dipertanyakan praksisnya oleh kaum miskin kota.
Selama ini Muhammadiyah
telah menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial keagamaan yang bermanfaat.
Sayang, Muhammadiyah masih kurang peduli (belum memberi manfaat) pada kelompok
tertindas seperti petani, buruh, pedagang kecil, dan kaum miskin kota.
Kehidupan kaum miskin kota
amat memprihatinkan. Dengan kebutuhan hidup minimum, mereka terpaksa menjadi
pemulung, buruh, dan pengamen. Tak jarang, kita lihat ibu-ibu mengamen sambil
mengendong anaknya. Semua itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Muhammadiyah, yang merupakan gerakan Islam kota kelas menengah, mestinya lebih
dekat dengan kaum miskin.
Di bidang pendidikan,
misalnya, biaya sekolah dan kuliah di lembaga pendidikan Muhammadiyah tak
terjangkau anak-anak miskin kota. Sebagai ormas Islam berbasis kelas menengah,
Muhammadiyah seyogianya memberi pendidikan murah bagi anak-anak miskin kota.
Banyak anak Indonesia belum bisa menikmati kehidupan layaknya anak, sekolah dan
belajar.
Mengambil contoh kehidupan
Jakarta, dengan mudah akan ditemui anak-anak usia sekolah mengamen atau
mengemis di lampu merah. Tak jarang, mereka ditemukan di bus-bus kota, dikenal sebagai anak
jalanan. Tiadanya kesempatan yang adil dan tidak terpenuhinya kebutuhan papan,
pangan, pendapatan, dan pendidikan, membuat warga miskin Jakarta menjadi
kelompok pinggiran, hidup di luar jaring keamanan sosial.
Tidak siap
Kuntowijoyo (1991:266)
menyatakan, selama ini Muhammadiyah belum mendasarkan program dan strategi
kegiatan sosial berdasar elaborasi realitas sosial yang obyektif. Muhammadiyah
kurang siap merespons tantangan perubahan sosial di masyarakat atas dasar konsep,
teori, strategi, dan aksi yang jelas.
Kegelisahan Kuntowijoyo
sudah menjadi kegelisahan generasi muda Muhammadiyah yang sering menyuarakan
keberpihakan Muhammadiyah bagi kaum tertindas. Lebih dari sekadar lembaga
keagamaan, Muhammadiyah merupakan organisasi nonpemerintah yang mengisi
fungsi-fungsi riil di masyarakat yang sering diabaikan negara. Tidak berlebihan
jika Muhammadiyah kini dan nanti diharapkan tumbuh sebagai organisasi pelayanan
sosial (social services) terkemuka di Indonesia melalui berbagai aktivitas amal
usaha.
Prof Dr A Syafii Maārif
pun galau menanggapi kemiskinan di negeri ini. Di mata seorang warga negara
Chad, sebuah negara miskin dan tandus di Afrika, amat takjub menyaksikan
hamparan indah Nusantara. Bahkan, menurut Syafii Maārif, mereka menyebut
Indonesia sebagai serpihan surga. Namun, serpihan surga itu benar-benar tak
pernah menjadi surga bagi warganya.
Berkaca dari kegalauan
para tokoh itu, problem kemasyarakatan yang dihadapi Muhammadiyah berubah dari
problem kemasyarakatan (dihadapi di saat pendiriannya). Ini menjelaskan, upaya
pembaruan (tajdid) gerakan Muhammadiyah mendesak segera
diformulasikan.
Maka, wajar dan adil jika
menjelang Muktamar Muhammadiyah, 3-8 Juli 2005 di Malang, geliat Muhammadiyah
dalam gerakan sosial kemanusiaan di Tanah Air selayaknya ditafsir ulang.
Godaan-godaan global yang merasuki gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah harus
diperhatikan tanpa tedeng aling-aling.
Selain itu, badan-badan
pelayanan sosial Muhammadiyah tak hanya sekadar menjadi coretan-coretan
dinding kota yang terpampang di penjuru kota. Sebuah bangku sekolah di
Muhammadiyah tak harus dibeli dengan harga mahal. Masih banyak warga
Muhammadiyah yang hidup dalam kemiskinan.
Lebih dari itu, agenda
yang harus disiapkan Muhammadiyah saat ini adalah keperluan melakukan
pembenahan dalam rangka menghadapi gejala metropolitan super-culture yang telah menjauhkan masyarakat dari
rasa kepedulian terhadap kaum miskin kota.
http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2010/01/muhammadiyah-dan-kaum-miskin-kota.html
http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2010/01/muhammadiyah-dan-kaum-miskin-kota.html
Comments