DILEMA BURUH DAN TANTANGAN AGAMAWAN

Hari Buruh yang peringati tiap 1 Mei, kantong-kantong budaya buruh saat ini berada di dalam kondisi gamang. Kaum buruh terus hidup dengan kesadaran tradisional perdesaan. Sementara di sisi yang lain, mereka telah di hadapkan secara langsung dengan praktek-praktek diskursif dan hegemonisasi kapitalisme.  

Kapitalisme detik ini telah menjadi ideologi dominan. Ia membentuk, memproduksi dan melakukan kontrol kesadaran melalui simultanitas dan intensitas frekuensi media cetak dan visual. Dominasi kapitalisme ini telah sampai pada kenyataan. Praktek-praktek kekerasan penindasan dan penghisapan terhadap kaum pekerja (buruh, tani, dan kaum miskin kota), tidak lagi dilihat sebagi kejahatan tetapi telah diterima sebagai kewajaran.  

Menurut budayawan Agus Hernawan (2004), konsekuensi dari pengintegrasian sistem ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi dunia yang didasari oleh liberalisme perdagangan  dan investasi di masa Orde Baru menjadi awal dari percepatan pembangunan kawasan-kawasan industri. Selain berdampak sosiologis, yakni munculnya kelas sosial buruh perkotaan sebagai akibat arus urbanisasi yang masif dari desa ke kota, juga memiliki dampak secara kultural.  

Pengebirian potensi
Disamping itu, hari ini kita melihat media kapitalisme memborbandir buruh dengan tontonan visual yang penuh daya persuasif (bujuk rayu). Dua bentuk represivitas ini dengan sendirinya membuat kaum buruh tetap dalam kondisi anonim dan terpecah-pecah. Ini terlihat pada kantong-kantong budaya buruh yang lebih didasari dan dibentuk oleh ikatan primordial-etnik. Kaum buruh belum lagi sampai pada kesadaran sebagai kelas sosial yang tertindas, sebagai sapi perahan di dalam siklus jam kerja dan kost produksi. 

Kecenderungan budaya liberal hari ini tidak terlepas dari praktek-praktek hegemonisasi itu. Mistik dan dunia klenik yang selama ini identik dengan realitas budaya tradisional di desa, telah diproduksi dan direproduksi secara masif menjadi tontonan di perkotaan. Sementara seks pada batas tertentu yang masih tabu dan hanya sebatas gunjingan di perdesaan --dan identik sebagai bagian dari hedonisme di perkotaan-- telah memasuki ruang-ruang kultural di perdesaan, baik melalui media visual atau pun media cetak.  

Tradisi budaya itu sifatnya tidak organik. Ia tidak melekat padu di dalam rutinitas dan aktivitas kehidupan riil rakyat pekerja. Ia hanya hidup di dalam lingkungan pabrik, lahan sawah, areal perkebunan, dan ruang perkantoran swasta. Di luar itu, akibat hegemonisasi, reifikasi dan ilusi-ilusi yang tak henti-hentinya disusupkan di ruang-ruang kesadaran rakyat pekerja oleh media-media kapitalisme, rakyat pekerja hidup dalam tradisi budaya yang semrawut, konsumtif, dan individualistik. 

Budaya liberal telah membuka kemungkinan sebesar-besarnya bagi penguasaan dan pengebirian potensi kesadaran kritis, daya korektif dan semangat resistensi rakyat. Melalui tontonan dan sajian berita yang bebas nilai, potensi kolektivitas yang didasari oleh kesadaran  kelas rakyat digiring untuk terpecah-pecah.  

Islam dan buruh
Islam katanya adalah agama yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Islam sama sekali tidak menghendaki terjadinya dehumanistik-feodalistik. Buruh adalah pekerja dan sekaligus khalifah Allah di muka bumi. Di samping bekerja kepada majikan, ia juga sebagai pekerja dan hamba Tuhan.  

Islam melihat buruh sebagai pekerja dan bukannya hamba kepada manusia lain untuk menghasilkan pengeluaran, karena penghambaan hanya dikhususkan untuk Allah. Upah dibayar dalam Islam mencangkup pertimbangan keperluan perbelanjaan setiap buruh. Pertimbangan itu tidak dihitung dengan kira-kira, upah harus sesuai dengan kerja mereka. 

Menurut Mansour Fakih (1989) dalam Islam, doktrin tauhid adalah tema pokok teologi Islam. Tauhid dalam teologi pembaharuan, berkisar sekitar ke-Esaan Tuhan, dengan penolakan terhadap penafsiran terhadap Tuhan. Tauhid dalam perspektif ‘’teologi kaum tertindas’’ lebih ditekankan kepada keesaan umat manusia. Dengan kata lain, doktrin Tauhid  menolak segenap bentuk diskriminasi dalam bentuk warna kulit, kasta, ataupun kelas. Konsep masyarakat Tauhidi adalah suatu konsep penciptaan masyarakat tanpa kelas. Dalam masyarakat Tauhidi ini, umat benar-benar satu, tidak dibedakan lagi karena kedudukan sosial, karena jenis kelamin, karena warna kulit dan sebagainya.  

Islam sama sekali tidak menghendaki adanya perbedaan derajat yang sangat jauh antara seorang majikan dengan buruhnya. Sebab, mereka adalah sama-sama manusia yang saling ketergantungan dan saling membutuhkan. Oleh karena itu, hendaklah dalam setiap hubungan  antara majikan dan kaum pekerja dijadikan sebagai mitra bisnisnya dalam mengembangkan usaha dan jangan sekali-kali seorang pekerja (buruh) dieksploitasi dan dijadikan seorang budak.  

Nabi Muhammad mengajarkan, bahwa manusia dalam membangun usaha seperti berdagang,  membesarkan sektor ekonomi, serta mempekerjakan orang di bawah kompetensi bisnisnya, maka prinsip kejujuran, keterbukaan, demokratisasi, dan tidak saling berbuat curang hendaklah ditegakkan. Perjuangan Nabi Muhammad disektor muamalat (kerjasama antar manusia dengan manusia) tersebut, hakikatnya adalah reaktualisasi nilai-nilai religius. Dan, janganlah kemanusiaan dilecehkan dengan watak-watak manusia yang arogan dan serakah. Beliau menyadarkan manusia antara lain melalui muamalat agar nilai-nilai religius ditempatkan sebagai kekuatan moral (moral force) dalam membangun usaha-usaha yang berhubungan dengan kepentingan antar manusia.  

Di antara yang diperjuangkan oleh Nabi dalam bidang muamalat tersebut adalah membebaskan manusia dari keterkaitan yang menempatkan mitra kerja (buruh) sebagai objek atau budak. Oleh sebab itu, Islam tidak mengenal adanya istilah budak dalam etika bisnis, melainkan sebagai subjek yang mempunyai peran, antara lain dalam menentukan nasibnya. Pekerja adalah mitra kerja seorang majikan dan bukan sebagai budak, karena di dalam suatau pekerjaan tersebut mengandung prinsip saling ta’awun dalam mengentaskan kesulitan yang dihadapi.  

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk tidak berbuat zalim kepada siapa pun juga, termasuk dalam hal ini berbuat zalimnya seorang majikan kepada buruhnya. Perbuatan zalim  yang biasa dilakukan oleh si majikan adalah tidak membayar upah atau imbalan kepada buruh. Dan, yang lebih menyedihkan lagi adalah majikan yang melakukan tindak kekerasan terhadap buruh. 

Oleh karena itu, sejatinya, seluruh tokoh agama, perlu membangun wacana dan kegiatan praksis keagamaan untuk menjawab tantangan kaum buruh yang semakin dipenjarakan oleh peradaban global ini. Di samping itu, perlu adanya pemahaman tentang teologi baru dan ajaran-ajaran sosial agama yang mengajak dan membawa umat untuk mentransformasikan agama menjadi lebih membebaskan dan mencerahkan khususnya bagi kaum buruh. Wallahu ‘alam

David Krisna Alka
Republika, Senin, 02 Mei 2005 

Comments

Popular posts from this blog

Pergolakan Partai Politik dan Kualitas Demokrasi Kita

Fatmawati Srikandi Republik

"Politik" Waktu; Selamat Tahun Baru