KEMISKINAN DAN BUTA AKSARA


David Krisna Alka
Republika, Senin, 17 September 2007
Buta aksara identik dengan kemiskinan pengetahuan, keterampilan, dan keterbelakangan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 menyebutkan angka buta aksara usia 15 tahun di Indonesia berjumlah12.881.080 orang atau 8,07 persen. Dan, sebanyak 81 persen lebih penduduk buta aksara terkonsentrasi di 10 provinsi dengan urutan tertinggi di provinsi Jawa Timur diikuti Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, NTB, Papua, NTT, Bali, Lampung, dan Banten. Sedangkan sisanya dibagi rata di 22 provinsi lain. Bangsa kita masih dikategorikan sebagai masyarakat terbelakang. 

Sejatinya, pada setiap individu dan masyarakat Indonesia mesti ada obsesi dan motivasi untuk maju. Setiap manusia Indonesia harus kuat lebih dahulu, agar perjalanan kehidupan generasi bangsa tidak tersumbat dan tak berjalan terputus-putus.
 
Perjuangan bangsa
Sampai saat ini, kesejahteraan bagi kaum miskin belum juga tercapai. Jumlah penduduk miskin di negeri ini tak kunjung berkurang malah bertambah. Bagi masyarakat yang ekonominya terbelakang, kemerdekaan itu berarti tiada hari tanpa gundah memikirkan mau makan apa besok. Mereka tak resah mencari sekolah yang murah bagi anak-anaknya, tak gelisah dengan biaya berobat bila salah satu anggota keluarga menderita sakit, dan tak histeris menangis ketika tiba-tiba aparat menggusur tempat mereka mencari nafkah.

Bangsa ini memiliki sejarah perjuangan yang panjang untuk merdeka. Darah dan air mata tertumpah untuk merebut kedaulatan dan harga diri bangsa. Dulu, negeri ini banyak mempunyai pejuang sekaligus pemimpin dan pemikir, jujur, bermoral tinggi, dan mengutamakan kesejahteraan bagi kaum miskin di atas segalanya. Tengok dan rasakanlah, rakyat hanya menanti janji, terus menanti. Penantian janji kapan pemerintah meningkatkan taraf hidup rakyat menjadi lebih baik, menjadi lebih adil, merasakan hidup nyaman di negeri sendiri.

Para elite nasional, baik elite pemerintah, elite partai, maupun elite organisasi masyarakat, sudah sulit menunjukkan contoh yang baik sebagai ujung tombak menuju Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur. Semua digoda oleh limpahan harta dan nikmatnya kekuasaan. Padahal banyak pahlawan penegak kemerdekaan Republik Indonesia yang hidup sederhana dan penuh perhatian terhadap nasib kaum papa, Bung Hatta salah satunya.

 Menurut catatan Taufik Abdullah (2003:25), Bung Hatta pernah menulis, "Di atas segala lapangan Tanah Air aku hidup, aku gembira. Dan dimana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang kusimpan dalam dadaku." Dalam pidato pembelaannya di negeri Belanda (1928) Bung Hatta pernah berdoa agar bangsa Indonesia menikmati kemerdekaan di bawah langit yang biru.
 
Rakyat lebih banyak mencontoh pemimpinnya. Jika pemimpin dan pemerintah tak peduli dengan kedaulatan negara yang mereka pimpin, rakyat bisa abai terhadap kedaulatan mereka. Sebaliknya, apabila pemerintah memberi contoh yang efektif dengan menjalankan prinsip kedaulatan rakyat sesuai dengan tanggung jawab yang begerser kepada publik, maka masyarakat pun akan terpanggil mengambil tanggung jawab yang lebih besar dan lebih efektif.

Pentingnya solidaritas
Jika kita mencintai Tanah Air ini, kita semua harus berusaha membangun dan memperbaikinya. Jauh sebelum Republik Indonesia merdeka, menurut bapak Intelektual Indonesia H Agus Salim (1929), salah satu keperluan nasional itu ialah si pekerja mendapat kehidupan yang patut dan berpadanan dengan kemanusiaan.

Konsep bangsa itu berarti setiap masyarakat yang menempati suatu wilayah yang mengutamakan rasa senasib dan seperjuangan. Ada bermacam-macam bentuk dan warna golongan dalam kebangsaan. Ada kebangsaan cap ningrat, kebangasaan cap intelek, dan kebangsan cap rakyat. Ketiga golongan kebangsaan ini mewarnai perjalanan kehidupan berbangsa di Tanah Air. Bahkan sejarah dunia cukup membuktikan bahwa ketiga golongan kebangsaan ini senantiasa ada.

Tentunya pilihan kita bukan pada kebangsaan cap ningrat, yang tampak primordial dan feodal. Kebangsaan kita adalah kebangsaan rakyat. Rakyat mesti sadar dengan kedaulatannya. Kaum intelektual mesti tanggap dan cepat memberi arah dan jalan bagi rakyat untuk mencapai kedaulatan sesungguhnya. Pastilah kaum intelektual tahu bahwa krisis yang belum usai menerpa bangsa ini disebabkan pemerintahan negara masih abai. Dan keberpihakan pemerintah terhadap kedaulatan rakyat yang miskin dan kusam belum dirasakan.

Sejarah suatu bangsa ditentukan oleh mereka sendiri. Demikian juga, rakyat berdaulat atau tidak, sangat ditentukan oleh rakyat itu sendiri. Sudah menjadi tugas para pemimpin, politikus, ulama, dan cendekiawan, serta tokoh-tokoh bangsa lainnya untuk mendengarkan suara rakyat dan mengartikulasikannya menjadi agregasi dan agenda perubahan politik ke arah yang lebih baik. 

Ketika rakyat kehilangan arah serta harapan untuk memiliki masa depan yang lebih baik karena tidak adanya figur nasional yang ideal, maka kesadaran kolektif rakyat harus ditumbuhkan. Begitu juga rasa percaya diri bahwa kita adalah sebuah bangsa yang mempunyai harkat dan harga diri harus terus dibangkitkan.

Sudah sepantasnya, kita membantu dan mengajarkan saudara kita yang masih buta huruf dan buta aksara. Bagaimana ekonomi dapat lebih bagus dan kesehatan terjamin jika masih banyak masyarakat yang terbelakang dan tak pandai membaca? Semoga pemerintah RI mencapai target menurunkan angka buta aksara menjadi lima persen pada akhir tahun 2009.

Sementara, menurut kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam forum Dakar, Senegal, termasuk Indonesia, target untuk menurunkan angka buta huruf menjadi lima persen yang akan dicapai pada 2015, itu berarti bahwa Indonesia berinisiatif melakukan penuntasan enam tahun lebih cepat. Mampukah?

Comments

Popular posts from this blog

Pergolakan Partai Politik dan Kualitas Demokrasi Kita

"Politik" Waktu; Selamat Tahun Baru

Fatmawati Srikandi Republik